01

211 21 1
                                    

|Butterfly Pea|

17 Februari 2016

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

17 Februari 2016.

Jauh sebelum mengenalnya di perpustakaan nasional, ternyata aku sudah diberi kesempatan semesta untuk dipertemukan di satu tempat yang sama sekali tak kuduga. Meski waktu itu, aku sama sekali tidak mengenal rupa serta panggilannya.

Suara denting lonceng kafetaria berbunyi, seorang laki-laki mendorong pintu kaca dengan senyum simpul. Sedetik kemudian, masuklah seorang perempuan berambut panjang yang saat itu entah kenapa tidak menarik perhatianku, atau mungkin ... belum tertarik. Ia segera meraih lengan laki-laki yang membukakan pintu untuknya tadi untuk duduk di sudut ruangan. Tanpa sadar, aku terus memerhatikannya dari tempatku duduk.

Kulihat ia tertawa, hingga matanya menyipit. Kata orang, kalau seseorang tertawa hingga nyaris menutup matanya, maka dia benar-benar tertawa bahagia. Dan sekarang aku paham, gadis itu tertawa lepas karena sosok yang sedang duduk di sampingnya. Saat itu aku juga berpikir dan berasumsi kalau laki-laki itu adalah kekasihnya.

"Vel, Mama ke toilet dulu, ya."

Aku, yang tadinya fokus mengamati kedua sejoli itu langsung menoleh ke Mama lantas mengangguk. Ya, aku ke kafetaria bersama Mama, wanita yang sangat-sangat-sangat aku sayangi. Mungkin terdengar berlebihan, tapi nyatanya aku menyayangi Mama lebih dari apa pun. Kasihnya yang tak pernah putus, rasa sayang yang tak pernah padam, juga ketulusan hati Mama selalu dapat membuatku luluh dan sejak aku sadar kalau Mama sangat berharga, aku takut melukai hatinya barang segorespun. Aku, mencintai Mama. Sangat mencintai Mama.

"Happy Birthday, Oni!"

Kualihkan lagi pandanganku ke sumber suara itu, ternyata dia sedang merayakan hari jadinya yang ke--kalau kulihat dari sini--16 tahun. Laki-laki itu mengangkat kue cokelat dan lilin merah bentuk angka yang cahayanya sudah berpendar, perempuan itu memejamkan mata serta menengadahkan kedua tangan. Kutahu, itu cara umat muslim berdoa.

Laki-laki dengan rambut semi-gondrong itu tersenyum lagi saat gadis itu membuka mata dan mengusap wajahnya karena selesai memanjatkan doa. "Aamiin! Sekarang, kamu tiup lilinnya!"

Aku yang melihat gadis itu meniup dua batang lilin di atas kuenya dengan senyum mengembang pun ikut tersenyum. Walau aku tidak tahu namanya, kudoakan dia sehat selalu dan diberi umur panjang oleh Tuhan.

"Sekali lagi, makasih Arga!" ujarnya lalu menarik laki-laki itu ke dalam dekapannya.

"My pleasure!"

Aroma cokelat, vanilla, dan susu menyerbu indra penciumanku kala gadis itu memotong kuenya. Ia menyuapi laki-laki itu--yang mungkin memang benar sang kekasih--sepotong demi sepotong kue dengan penuh kelembutan. Mereka secara bergantian saling mendulang kue, mungkin juga mendulang kasih sayang. Entah kenapa seketika aku merasa iri saat melihat semua kisah romansa ini. Sebelum mereka kembali menyuap kue masing-masing, seorang pelayan datang membawakan minuman berwarna biru. Satu teko kaca dan dua gelas berisi bongkahan es batu diletakkan, serta beberapa potong lemon yang nantinya akan diperas di atas minuman itu.

Selepas keduanya mengucapkan kata terima kasih, pelayan itu melesat pergi.

Tersadar, minuman yang ia pesan sama seperti minumanku sekarang. Teh bunga telang, dingin dan menyegarkan. Tak mau berlama-lama menatap kekasih orang, aku mengalihkan pandangan ke arah ponsel sambil sesekali meneguk minuman berwarna biru di tangan. Rasa manis dari madu serta segarnya lemon memenuhi dahagaku.

Pikirku saat itu, aku tidak akan menyukai seseorang dalam sekejap mata. Tapi, itu hanya berlangsung sebentar. Kulirik lagi dia, untuk beberapa detik kemudian mataku bertemu tatap dengan netra indah miliknya.

Aku, menyukainya.

"Vel, lima belas menit lagi kita ke rumah temen Mama, ya?"

Mama duduk, aku mengangguk. Mendengar ajakan Mama barusan membuatku sedikit sedih. Itu artinya aku tidak dapat berlama-lama duduk di sini, apalagi mengamati gadis itu.

"Temen Mama yang mana?"

"Auxilia. Katanya, anaknya yang cewek mau ngadain pesta ulang tahun dan Mama diundang lebih awal buat bantuin Lia," jelas Mama menerangkan singkat. Aku hanya manggut-manggut tapi tersadar suatu hal.

"Eh tapi, Ma, Ovel nggak bisa ikut."

"Kenapa?"

"Hari ini ada latihan teater, lusa juga udah harus ditampilin di pentas seni, Ma. Gimana dong?"

"Yah, sayang banget. Padahal kayaknya pestanya bakalan seru loh! Kamu juga bisa kenalan sama putrinya Lia."

Aku mengembuskan napas pelan, sedikit mencebikkan bibir. "Ya gimana dong, Ma? Ovel harus latihan, mungkin bakal sampai malem latihannya. Gapapa ya Ovel nggak ikutan dulu?"

Mama hanya menampilkan senyum tipisnya dengan anggukan. "Ya udah, gapapa. Mama ngertiin kesibukan kamu kok, sayang."

Menit selanjutnya kuisi dengan bercerita. Mama selalu menanggapi ceritaku dengan tawa, kadang cuma berdeham, dan angguk-angguk kepala. Sampai aku berpikir, Mama sebenernya paham enggak sih sama cerita yang aku kasih ke dia? Sekarang gantian, Mama mengambil alih untuk bercerita. Ditemani makanan kesukaan dan teh kembang telang, Mama sedikit banyak menjelaskan tentang khasiat tanaman bunga berwarna biru itu. Katanya, minuman itu dapat menenangkan pikiran dan mencegah berbagai macam penyakit. Aku mengiyakan saja, Mama ini memang terlalu pintar aslinya. Ilmu yang tidak ada di akademi, ada pada dirinya.

Sekitar 5 menit kemudian, aku mencuri tatap lagi ke arah dua sejoli yang duduk di sudut ruangan. Dari raut wajah salah satunya, laki-laki itu terlihat panik dan tampak menumpuk beberapa lembar tisu di atas telapak tangannya. Perempuan itu kenapa? Apa dia sakit?

Karena kafe ini nyaris sepi--mungkin pengunjungnya hanya ada aku, Mama, dua sejoli itu, dan beberapa pengunjung lain yang dapat dihitung pakai jari--suara-suara aneh seperti orang mual pun terdengar samar dibarengi dengan latar musik yang diputar di kafe.

"Aku ... aku nggak bisa konsumsi susu, Ga. Kamu beli kue yang ada susunya?"

Begitulah yang kudengar samar-samar dari jauh setelah perempuan itu menuntaskan rasa mualnya. Si laki-laki menjawabnya dengan anggukan lantas berdiri untuk memapah gadis lemah yang terus meremas kuat perutnya. Setelah membayar di kasir, mereka keluar kafetaria dengan langkah gontai. Aku penasaran, gadis itu sedang sakit?

"Vel, Mama perhatiin kamu dari tadi nggak fokus. Kenapa sih?"

Mataku terbelalak kala Mama menyadari gelagatku. "Eh, gapapa, Ma."

"Atau kayaknya kamu mau latihan teaternya sekarang? Ya udah kita balik yuk! Mama ke rumah Lia, kamu pergi latihan. Oke?"

"I-iya udah, Ma. Ayo."

Harusnya saat itu aku sadar kalau sebaiknya membatalkan acara latihan teater. Nyaris sedikit lagi aku bisa bertemu dengannya di acara pesta ulang tahun, seperti yang dikatakan Mama waktu itu.

[O₂ - 01; bunga telang]

O₂ [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang