03

91 18 3
                                    

|Lollipop|

Hari berikutnya setelah bertukar nomor ponsel, konversasiku dengan Macaronia semakin intens

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari berikutnya setelah bertukar nomor ponsel, konversasiku dengan Macaronia semakin intens. Itu terus bergulir hingga hari-hari selanjutnya. Pagi hingga siang bertukar pesan singkat, kalau sore atau malam hari berbincang via suara alias telepon. Awal-awal, kami belum berani untuk melakukan panggilan video. Bukan, bukannya belum berani. Lebih tepatnya aku takut menghadapi situasi canggung saat menatapnya nanti. Kuakui, matanya indah dan mampu menghipnotisku dalam sekejap. Padahal Macaronia bukan seorang penyihir, tapi entah kenapa saat aku melihatnya waktu itu dapat membuatku seketika terpukau. Ia sukses membuatku jatuh begitu dalam ke pribadi baiknya.

Katanya, kalau siap jatuh cinta harus siap juga untuk patah hati, 'kan? Aku menanamkan kalimat itu sejak awal, sejak aku melihat mata indah itu di kafetaria setahun yang lalu.

Meski aku telah berkenalan dengannya dan selalu bertukar kabar, aku tetap memberi makan jarak dan sedikit mengesampingkan perasaanku. Arga, laki-laki yang pernah kudengar namanya waktu itu ternyata memang benar kekasihnya. Tapi sayang seribu sayang, tepat di hari ini kisah cinta Macaronia dan Arga berakhir. Sekitar pukul 12 malam, Macaronia tiba-tiba meneleponku dengan suara isakan tangis tertahan. Katanya, ia memergoki Arga berjalan dengan perempuan lain yang bahkan adalah teman sekelasnya sendiri di SMA. Kisah cinta yang dibangun berbulan-bulan seketika runtuh, diterjang oleh pengkhianatan klasik yang begitu kejam.

"Fen, maafin gue ya. Malem-malem gini ganggu tidur lo," katanya di seberang sana dengan suara parau.

"Nevermind, Oni. Gue siap jadi teman cerita lo mulai saat ini hingga nanti."

Terdengar dari sana, ia terkekeh kecil alih-alih menyamarkan suara sedihnya yang habis putus cinta. "Serasa lagi konsultasi sama psikolog deh, ahaha ...."

Mau tak mau kumembalas tawanya yang renyah. "Diiyain aja deh biar lo seneng."

"Hmpb ...." Kudengar suara tertahan itu dari ponselku. Ia kenapa?

"Oni? Lo kenapa?"

"Bentar, bentar. Gue ke kamar mandi dulu, jangan dimatiin dulu teleponnya," ujarnya singkat. Sekarang aku hanya mendengar derap langkah kaki yang berlari tergesa dan detik selanjutnya diikuti suara gemercik air.

Apa dia sedang sakit?

Tanpa kumenebak lagi, Macaronia memang sengaja memutar keran air guna menyamarkan suara-suara aneh saat dia muntah. Aku langsung berpikir lagi, apa iya ia sakit karena ... mengonsumsi susu? Di kafetaria waktu itu ia pernah bilang kan kalau dia nggak bisa konsumsi susu? Atau memang saat ini ia benar-benar sedang sakit? Setelah 5 menit menunggu, suara air perlahan menghilang dan suaranya yang serak menyapaku. Kurasa, ia sudah duduk kembali di atas ranjang kasurnya.

"Sorry, Fen."

"Hei, lo kenapa?"

"..."

O₂ [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang