14

41 10 0
                                    

|Green House|

Macaronia mengelap mulutnya menggunakan tisu selepas menutup pintu kamar mandi yang terletak tak jauh dari ruang tengah, sedangkan aku dihadang dengan manusia berekspresi marah di ambang pintu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Macaronia mengelap mulutnya menggunakan tisu selepas menutup pintu kamar mandi yang terletak tak jauh dari ruang tengah, sedangkan aku dihadang dengan manusia berekspresi marah di ambang pintu. Kuletakkan keranjang Mocca dengan perlahan ke lantai lalu menjelaskan semua yang terjadi kepada Bang Lovanoga.

"Bang Oga, lo salah paham. Oni nangis bukan karena gue."

Ia terkekeh sinis. "Kalo pulangnya sama lo, siapa lagi yang bisa bikin Oni nangis? Mas-mas taksi online-nya?"

Kurasa Bang Lovanoga memang tidak berbakat menjadi orang yang pemarah, buktinya sebaris kalimatnya itu mengandung lawakan alih-alih mengomeliku. Kutatap matanya lagi lekat-lekat, sepertinya terjadi tabrakan paham selepas Macaronia bergegas masuk ke rumahnya sambil menangis.

"Bukan karena gue, Bang. I swear!"

Lelaki di depanku menghela napas, sedikit memijat dahinya yang kembali pening. Belum sempat kutahan tubuhnya agar tidak limbung, ia menyentak tanganku dengan ekspresi marahnya. Bahkan rahangnya mengeras berkombinasi dengan wajah yang memerah. Ia maju selangkah, menatapku tajam sembari membenahi kacamatanya.

"Gue nggak akan diem aja kalo adik gue terluka, even though dia cuma nangis karena hal sepele. Termasuk lo, Fen. Gue nggak akan segan-segan kasih lo sanksi karena nggak bisa jagain adik gue."

Aku mendelik sambil menahan napas karena tiba-tiba Bang Lovanoga menarik kerahku dan mencengkeramnya erat. Aku harus berkata apa lagi, memang bukan aku yang membuat Macaronia menangis hebat seperti tadi. Bergerak pun percuma, Bang Lovanoga semakin mengeratkan genggamannya pada kerah kemejaku.

"Bang, bukan gue ...."

Hal ini tak berlangsung lama, tiba-tiba tangannya mengendur kala Macaronia datang lalu mendorong bahu kakaknya agar tak mengintimidasiku lagi.

"Abang apa-apaan sih?!"

Aku dan Bang Lovanoga serempak menoleh. Wajah yang tetap pucat itu sekarang berubah merah. Macaronia menarik jauh-jauh kedua tubuh lelaki di dekatnya agar tak terjadi hal yang lebih gila, baku hantam misalnya.

"Abang kenapa? Mau pukul Fenly, huh?!"

Keduanya berhadapan, napasnya saling memburu hingga salah satunya berkaca-kaca. Bang Lovanoga mengusap wajahnya kasar dan kembali memijat pelipis serta dahinya.

"Lo kenapa nangis sesenggukan kayak tadi? Gara-gara Fenly, 'kan?"

Macaronia mendengkus tak percaya. "Bukan!"

"Siapa lagi yang berani bikin lo nangis kayak tadi? Jelas-jelas lo lagi pergi sama Fenly hari ini!" Bang Lovanoga tetap pada pemikirannya, menuduhku atas semua kejadian yang menimbulkan salah paham ini.

"Jangan nyalahin Fenly, dia nggak tahu apa-apa soal ini!" bantah Macaronia tegas, ia menggenggam jemari kanan Bang Lovanoga untuk menyalurkan ketenangan.

O₂ [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang