|Ferris Wheel|
Dari sekian banyak wahana permainan di dunia fantasi, Macaronia memilih bianglala sebagai pilihan pertama untuk ia naiki. Kali ini, aku menyerahkan kebebasannya untuk memilih wahana bermain. Katanya, naik kincir raksasa hanya sebagai pemanasan semata, takut takut kalau langsung naik ke wahana yang ekstrem seperti kora-kora jantungku bisa lepas. Begitu penjelasannya diiringi tawa kecil.
Justru jantungku mungkin saja bisa lepas dengan mudah atau bahkan meloncat dari tempatnya saat melihat Macaronia tertawa seperti ini. Mungkin wahana sejenis kereta luncur dan hysteria dapat dengan mudah tertandingi. Bibirnya yang mungil, serta tawa yang renyah tak pernah membuatku kunjung bosan. Justru, suaranya membuatku candu.
Sekarang, aku dan dia duduk berdampingan di bianglala berwarna merah. Detik pertama masih sama, hanya suara mesin yang terdengar dihidupkan di sana. Perlahan, bianglala berputar, mengajakku serta Macaronia untuk naik mengarungi embusan angin. Sambil mengulum lolipop yang kubelikan tadi, Macaronia tersenyum senang sambil melihat-lihat pemandangan dari duduknya. Kukira ia takut ketinggian, nyatanya ia lebih berani dari yang kupikir.
Semilir angin berembus. Meski sedikit terik, udara yang bertiup di atas memberikan kesejukan tersendiri. Lagi pula, semakin tinggi suatu tempat semakin kencang juga perputaran anginnya.
Aku meliriknya dari samping. Wajahnya terlampau manis, sama seperti permen yang sedang ia kulum. Tak jemu aku memandangnya, kalau bisa seharian aku ingin memandang wajah bahagianya seperti ini. Dengan mengenakan pakaian mini dress biru laut dan aksesori jepit rambut bunga kecil, ia cantik tanpa cela. Begitu indah manusia yang diciptakan oleh Tuhan.
Macaronia menoleh.
Aku gelagapan. Aku tertangkap basah mengamatinya diam-diam dari jarak dekat seperti ini. Seketika, aku mengalihkan pandangan ke luar dan merutuki dalam hati.
Kenapa harus ketahuan gini sih?
Sepertinya Macaronia juga jadi canggung setelah kutatap seperti itu. Demi menghapus keheningan, aku mencoba berdeham.
"Oni ..."
"I-iya. Kenapa?" Ia menoleh, memberanikan diri untuk menatap mataku.
"Sorry," ucapku lalu menunduk.
"Hah? Kenapa sih emangnya?" kekehnya samar, tangannya mengangkat daguku agar tidak terus-menerus menunduk.
"Umm, itu ... soal tadi, gue terlalu berlebihan ngelihatin lo." Aku berterus terang, Macaronia malah terlihat santai dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nggak masalah, Fenly. Kenapa sih jadi gugup gitu?"
Kamu harusnya tahu, aku-suka-kamu, Oni.
Kugelengkan kepala singkat sebagai jawaban. Ia mengedikkan bahu lantas mengulum lolipopnya lagi sambil mengamati pemandangan di atas ketinggian dengan senyum mengembang.
"By the way, lo nggak takut ketinggian?" ucapku mulai membuka topik.
"Nope. Justru gue takut kegelapan."
"Gelap?"
Mendengar ia takut akan kegelapan, aku semakin penasaran. Apa ia punya trauma mendalam soal itu? Ia langsung mengatur duduknya sedikit menyamping, menghadap ke arahku dan membuang tangkai lolipop yang sudah habis.
Aku-harus-tahan.
Sekarang saja jantungku berdegup kencang karena berhadapan dengannya seperti ini. Ia menarik napas lalu mengembuskannya perlahan, memulai suatu cerita memang benar-benar tidak mudah. Apalagi terkait dengan trauma, butuh keberanian serta melawan rasa takut yang melayang-layang dalam pikiran yang kita buat sendiri.
"Gue pernah pingsan di gudang. Waktu itu gue di rumah sendiri. Mama, Papa, sama Bang Oga lagi pergi ke rumah tetangga sebentar, katanya darurat."
"Bang Oga siapa?"
"Abang gue."
Aku mengangguk paham. "Terus, kenapa lo ke gudang?"
Macaronia menyambung ceritanya lagi untukku. "Waktu itu gue mau cari sesuatu untuk tugas prakarya gue dan kata Bang Oga barangnya memang ada di dalem gudang. Setelah gue masuk dan coba cari, nihil. Nggak nemu. Setelah itu, karena gue merasa putus asa barang yang gue perlu nggak ada, gue memutuskan untuk keluar karena pengap banget dan banyak debu," tukasnya sambil mengambil jeda.
"... Sebelum gue sampai ke pintu, gue kegelincir dan jatuh. Entah karena apa, tapi gue rasa ada cairan menggenang dari sana dan seketika lampu padam. Gue pingsan di deket pintu keluar gudang. Kata Mama sama Papa, gue nggak sadarkan diri hampir berjam-jam. Sejak saat itu, gue trauma kegelapan."
Mendengarnya bercerita, aku merasakan kesedihan dan kesenangan dalam satu waktu. Kenapa? Pertama, aku sedih karena melihat wajah cantiknya itu murung ketika membayangkan kembali masa terburuknya soal kegelapan, petang jadi musuh terbesarnya. Kedua, aku senang karena--dapat dipercaya atau tidak--suaranya menenangkan. Suaranya mengalir dan tidak terkesan mengintimidasi. Kalem dan lembut. Bisakah ada yang menandingi kelembutan suara Macaronia saat ini?
"Sebenarnya, lo bisa lawan rasa takut lo terhadap gelap, Oni. Perlahan."
"Tapi gue takut!" Refleks, ia meraih kedua telapak tanganku seakan menyalurkan rasa takutnya.
Tanpa takut, aku memegang kedua bahunya dengan lembut. Kuberanikan menatap matanya sekarang. "Listen to me! Ketakutan terbesar kita adalah diri kita sendiri. Lo udah sering denger itu kan?"
Ia mengangguk, namun wajah cemberutnya tak absen dari sana. Aku tersenyum tipis, menghadiahinya usapan di bahu. "Lawan rasa takut lo layaknya semua itu bisa lo tembus tanpa batas atau halangan apa pun. Kayak tadi pagi jam setengah satu, tanpa sadar lo bisa lawan rasa takut lo saat itu juga."
"Maksudnya?" Ia menatapku lekat, bulu matanya lentik tanpa embel-embel extension. Natural dan alami cantiknya.
Tanganku beralih untuk memegang kedua pergelangan tangannya, aku memberi dia kekuatan. "Dengan mudah, lo perlahan lupain rasa sakit yang dirasakan waktu itu kan? Lo berhasil ketawa sesaat setelah cerita ke gue soal percintaan lo yang baru aja selesai, 'kan? Itu artinya, lo bisa melawan rasa takut yang ada di diri lo sendiri, Oni."
Macaronia menampakkan ekspresi beragam, selanjutnya ia menarik garis bibirnya ke atas untuk tersenyum. Lagi dan lagi, aku dihadiahi senyuman yang berlimpah darinya hari ini. Tuhan, aku benar-benar bahagia kalau juga melihatnya bahagia! Satu pintaku, bisakah kau jaga umat yang satu ini? Jujur, aku ingin melindunginya sepenuh hati. Mulai sekarang dan begitupun seterusnya hingga nanti.
Bianglala yang kami tempati sudah berada di paling atas dan pastinya ini tertinggi. Berikutnya, kurasakan tubuhku hangat. Macaronia memelukku erat hingga suhu tubuhnya sedikit teraba pada kulitku. Ini pertama kali aku merasakan dekapan hangat dari perempuan lain selain saudari dan Mama. Dengan ragu, kubalas pelukannya yang tak kunjung terlepas.
Mungkin ini cara Macaronia berterima kasih kepadaku. Ia berterima kasih karena aku memberi kebahagiaan sesederhana ini untuknya. Mungkin, mungkin saja.
Bianglala, kenanglah kisahku dan Macaronia ini. Jadikanlah pelangi, jadikanlah bianglala, dan jadikanlah penuh warna.
[O₂ - 04; bianglala]
KAMU SEDANG MEMBACA
O₂ [FIN]
Fanfiction[side story CdM series] - fluff; delighted romance; interfaith love (Fenly's POV) Ini Fenly sebelum, saat, dan setelah bertemu Macaronia. *** Tersisip sepucuk surat di atas meja. Dari Fenly, untuk kamu katanya. Kalau oksigen adalah unsur yang dapat...