|Cat|
Aku penyayang binatang, ia pun juga. Tapi masalahnya adalah aku tidak menyukai binatang yang ia sukai. Maksudku, aku tidak terlalu menyukai hewan peliharaan Macaronia kendati katanya anabul miliknya imut bukan main. Kalau disuruh memilih antara anjing atau kucing, dengan lantang dan jelas kusebut opsi yang pertama. Seperti hari ini, mau tak mau aku mengantarkan Macaronia ke pet shop langganannya untuk mengurus kucing kesayangannya yang berwarna putih itu.
Berhubung Bang Lovanoga juga masih menjalani pemulihan pascasakit di rumah, jadwal untuk memandikan Mocca--kucing milik Macaronia--diambil alih oleh Macaronia. Padahal kalau dilihat-lihat dari wajah serta tubuhnya, entah kenapa aku berpikir kalau Macaronia sedang kurang sehat. Sejak keluar dari pintu utama rumah dan menenteng keranjang kucing saja aku sudah paham kalau ia sedang tidak enak badan.
Kuraih tubuhnya untuk memeluk sesaat. "You look so pale, Oni. Lagi sakit?"
Ia menggeleng lalu mengulurkan keranjang berukuran sedang berisi Mocca kepadaku. "Mual doang."
"Kok doang? Itu serius lagi enggak enak badan berarti."
Tidak peduli lagi soal perkataanku, ia menarik paksa jemariku agar segera masuk ke taksi online yang sudah ia pesan beberapa menit yang lalu. Aku hanya menurut karena entah perasaanku saja atau hal lain, mood-nya sedang di ambang berantakan.
"Sesuai aplikasi ya, Mbak." Pria berumuran sekitar 25 tahun ke atas bersuara saat aku dan Macaronia telah duduk nyaman di jok mobil belakang. Macaronia mengangguk singkat lalu menyandarkan tubuhnya ke kepala bangku.
Mobil yang kami tumpangi mulai keluar area komplek dan melewati jalan besar.
Kutaruh keranjang ke bawah lalu menatapnya tanpa berbicara. Demi apa pun, selama aku berpacaran dengan Macaronia tak pernah kulihat wajahnya sepucat dan selesu ini. Mulai sekarang, aku mengkhawatirkan kesehatannya.
"Kamu beneran gapapa?"
Ia melirikku sekilas disertai anggukan.
Jujur, aku bingung bagaimana pola pikir manusia yang biasa disebut sebagai perempuan. Ia bilang tadi perutnya terasa tidak nyaman, namun gestur serta sikapnya kepadaku seolah cuek dan mengurangi atensinya untukku. Apa permasalahan yang sebenarnya ada di aku?
"Kamu sakit atau ngambek sih sama aku?"
"Aku lagi nggak mood ngomong banyak, Fen," jawabnya tanpa menatapku dan malah mengamati jalanan dari kaca jendela mobil.
Kugenggam tangannya yang bebas. Kulitnya begitu dingin hingga kurasakan lembab pada telapak tangannya. "Kamu marah sama aku karena bales chat kemarin sore lama?"
"Enggak, Fenly."
Sikapnya kali ini membuatku geregetan hingga mau tak mau kutarik kepalanya agar bersandar padaku. Ia tidak menolak namun tetap pada pendiriannya, mengamati lalu lintas yang cukup padat yang menjadi fokusnya sekarang. "Kenapa sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
O₂ [FIN]
Fanfiction[side story CdM series] - fluff; delighted romance; interfaith love (Fenly's POV) Ini Fenly sebelum, saat, dan setelah bertemu Macaronia. *** Tersisip sepucuk surat di atas meja. Dari Fenly, untuk kamu katanya. Kalau oksigen adalah unsur yang dapat...