12

310 60 10
                                    

Ara berjalan gontai keluar dari ruang inap Kevin. Air matanya masih terus menetes dan dadanya terasa sesak. Ara mendudukkan tubuhnya di kursi panjang depan ruang inap Kevin. Dia memegang jari manisnya. Ada bekas cincin melingkar di jari manisnya. Tapi cincin itu sudah tidak lagi tersemat di sana.

Drrtttt ddrttt

+62812800xxx : apartemen sudah bisa ditempati bu. Kira-kira besok mau pindah jam berapa? Biar saya siapkan kuncinya.

Ara menggenggam ponselnya erat. Satu minggu ini dia sudah survey ke beberapa apartemen dan ada salah satu apartemen yang menurutnya lebih nyaman dari yang saat ini ia tempati. Dia rela pindah untuk menghindari Sandi. Tapi semua itu sudah terlambat. Kevin sudah mengetahui semuanya.

"Ra," Windy berjalan cepat ke arah Ara yang masih terisak.

"Gue udah resign, gue juga udah dapet apart baru. Gue mau memperbaiki semuanya, tapi uda terlambat Win. Kevin udah tau semuanya."

"Gue yakin Kevin bisa maafin lo kok Ra." Windy memeluk Ara untuk menenangkan sahabatnya itu.

"Engga Win," Ara melepaskan pelukan Windy. Dia menunjukkan jari manisnya yang kosong.

Windy terkejut dengan apa yang dilihatnya. Bagaimana mungkin seorang Kevin begitu mudah melepaskan Ara? Windy merasa ada yang aneh dengan Kevin. Karena dia bukan tipe orang yang gegabah seperti ini.

"Gue coba ngomong sama Kevin ya? Pasti dia cuma emosi."

"Nggak usah Win, biar gue aja yang selesein semuanya."

***

Sudah dua bulan ini Ara resmi putus dengan Kevin. Ara tidak tau lagi kabar dari Kevin, yang dia tau saat ini Kevin sudah pindah ke Bandung untuk mengurus kantor cabangnya. Dan tentu saja untuk menghindar dari Ara.

Ara sendiri sudah tidak tinggal di apartemen. Dia memutuskan untuk tinggal di rumah karena tidak mau kesepian. Selama dua bulan ini juga Ara bekerja di perusahaan milik papanya.

Setelah hubungannya resmi berakhir, Ara bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Dia bahka masih bisa bersikap biasa saja di depan keluarganya. Tidak ada yang tau jika selama ini Ara selalu menangis di kamarnya. Ara masih tidak rela hubungannya berakhir begitu saja dengan Kevin.

"Kak, dijemput sama temennya tuh di bawah." Jevan masuk kamar Ara ketika Ara masih sibuk memoles wajah cantiknya.

"Siapa?" tanya Ara, karena setaunya dia tidak ada janjian dengan siapapun.

"Nggak tau, cowok. Pacar lo bukan?"

Ara menghentikan kegiatannya, dia lalu menatap ke arah Jevan sengit. Bisa-bisanya dia menanyakan hal tersebut. Apa dia meragukan perasaan Ara terhadap Kevin? Tidak semudah itu tentu saja untuk melupakan Kevin.

"Sory, gue kan cuma nanya." Jevan merasa tidak enak karena perubahan sikap Ara barusan.

Tanpa berbicara lagi, Ara segera menyelesaikan kegiatannya dan langsung turun ke bawah. Dia penasaran siapa orang yang menjemputnya di bawah.

"Ma, aku pamit ya?" Ara menghampiri mamanya yang tengah menonton tv untuk berpamitan.

Hari ini adalah hari di mana Windy dan Choki tunangan. Ara merasa senang karena Windy berhasil menghilangkan traumanya setelah dua tahun lalu gagal tunangan. Choki bahkan hampir menyerah untuk meyakinkan Windy agar mau menikah dengannya.

"Kamu punya pacar kok nggak bilang-bilang kak?" kini giliran Mama yang menanyakan hal tersebut. Ara semakin mengernyitkan dahinya. "Pantes kamu keliatan baik-baik aja, ternyta udah ada gantinya yah?" mama tersenyum tipis, namun tersirat kesedihan dalam senyumnya itu.

LASSITUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang