13

154 34 9
                                    

Ara pikir ditinggal pergi oleh Kevin adalah mimpi buruk baginya. Setiap hari, dia hanya ingin terbangun dari mimpi buruknya itu. Ara ingin bangun dan melihat wajah bahagia Kevin lagi. Sudah hampir setengah tahun Kevin pergi, dan Ara masih belum baik-baik saja. Ara tidak bisa menjalani kehidupannya seperti dulu. Bahkan buat sekedar tersenyum saja susah.

Kevin memblokir semua sosial media Ara, nomor teleponnya bahkan sudah ganti. Rini sudah tidak pernah lagi menghubungi Ara. Setiap Ara telfon, Rini bahkan tidak pernah menjawab. Ara sudah sangat putus asa, dia tidak tau lagi bagaimana cara untuk berbicara pada Kevin.

"Kak, lo nggak mau coba samperin ke Bandung?" Jevan menatap Ara sendu saat kakaknya itu tengah memeluk lututnya dengan tatapan kosong di balkon kamarnya.

"Gue nggak mau Kevin makin benci sama gue." Ara tersenyum tipis ke arah Jevan, senyum yang membuat hati Jevan ikut merasakan sakit.

Jevan adalah satu-satunya orang di rumah ini yang tau masalah Ara dengan Kevin. Awalnya Jevan menyalahkan kakaknya itu, tapi seiring berjalannya waktu, Jevan tau kalau kakaknya itu tidak berniat untuk selingkuh.

"Bilang sama gue kalau lo butuh sopir buat ke Bandung." Jevan menepuk bahu Ara sebelum akhirnya pergi meninggalkan Ara.

Ara menatap ribuan Bintang yang seolah mengejeknya saat ini. Mereka tengah bahagia bersama bulan yang saat ini tersenyum lebar ke arahnya. Apa hanya Ara yang merasa kesepian? Apa hanya Ara yang tidak bisa tersenyum saat ini? Kenapa susah sekali bagi Ara untuk melupakan Kevin? Kenapa setiap kali mengingat Kevin dadanya terasa begitu sakit?

Tanpa sadar, Ara kembali meneteskan air matanya. Lagi dan lagi, air mata Ara kembali menetes dengan derasnya. Seolah tidak akan pernah habis stok air matanya itu. Kalau bisa, Ara ingin sekali memperbaiki hubungannya dengan Kevin. Andai saja ada satu kesempatan bagi Ara, dia tidak akan pernah menyia-nyiakannya. Hidup tanpa Kevin saja sudah membuatnya gila seperti ini.

Drttt drttt

Ara mengambil ponselnya di meja. Sejak tadi ponselnya bergetar, Ara mencoba mengabaikannya, tapi ponselnya tidak berhenti bergetar.

Melihat nama si penelpon, Ara membulatkan matanya. Jantungnya bergetar hebat. Ara menghapus air mata yang membasahi pipi sebelum akhirnya mengangkat telepon itu.

"Ha-"

"Maaf teh telfon malam-malam. Bisa teteh ke Bandung besok? A Kevin...."

Ara menjatuhkan ponselnya. Dia lalu bergegas dari tempatnya. Melewati kamar dengan berlari cepat. Ara bahkan mengabaikan pertanyaan mamanya saat sampai di depan ruang keluarga agar cepat sampai ke kamar Jevan.

"Antar gue ke Bandung sekarang." perintah Ara dengan nafas memburu.

"Gue emang menawarkan sebagai sopir, tapi nggak sekarang juga. Ini udah jam-"

"Sekarang!" teriak Ara histeris. Ara terduduk di lantai sambil menutup wajahnya. Tangisnya pecah membuat Jevan langsung menghampiri Ara.

"Oke, gue antar sekarang. Tapi lo harus tenang dulu." Jevan berusaha membantu Ara berdiri.

"Ara, kamu kenapa?" mama yang baru sampai di kamar Jevan langsung memeluk Ara khawatir. Baru kali ini mama melihat Ara begitu menyedihkan.

"Kevin sakit ma, aku harus ke sana sekarang." Ara terisak sambil memeluk mamanya.

"Iya sayang, tapi kamu tenang dulu ya? Mama nggak akan kasih kamu ijin kalau kamu masih nangis kaya gini." mama melepaskan pelukan Ara dan menghapus air mata yang mengalir melalui pipinya.

LASSITUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang