15

192 31 5
                                    

Ara menatap nanar kepada Sandi yang tergeletak lemah di ranjang. Lingkaran matanya hitam, ada kumis tipis yang baru pertama kali Ara lihat. Rambut hitamnya yang sudah mulai memanjang menandakan bahwa Sandi sama sekali tidak merawat tubuhnya.

Ara mengusap pergelangan tangan sandi yang terdapat bekas luka di sana. Ada luka yang terlihat baru mengering. Ara menundukkan kepalanya, air matanya tidak kuasa ia tahan. Ara merutuki dirinya sendiri karena di antara beberapa bekas luka di pergelangan tangan Sandi ada luka yang disebabkan oleh dirinya.

"Engh," Sandi membuka matanya sambil mengernyit, tangannya memegangi perutnya.

"Mas, kenapa? Mana yang sakit? Aku panggilin dokter ya?" Ara hendak beranjak dari duduknya tapi Sandi menahan tangan Ara.

"Nggak usah." jawabnya lemah.

"Nggak, aku panggilin dokter dulu. Mas-"

"Aku nggak papa Ra, aku cuma mau minum. Kamu bantu aku duduk ya?"

"Beneran nggak papa?" melihat Sandi yang mengangguk sambil mencoba menyunggingkan senyumnya, Ara lalu membantu Sandi untuk duduk.

"Kamu kok tau aku di sini?" tanya Sandi setelah meneguk air putih.

"Nggak penting. Sekarang aku mau nanya, kenapa mas nggak pernah cerita soal penyakit mas ini sama aku?" tanya Ara.

"Karena aku bukan siapa siapa kamu. Kalau nanti mati pun aku yakin kamu nggak akan kehilangan aku." Sandi tersenyum kecut mengingat bahwa dirinya tidak pernah bisa memiliki Ara.

"Mas!" sentak Ara yang tidak menyukai apa yang barusan diucapkan Sandi. "Mas pasti sembuh. Mas nggak boleh pesimis, aku janji aku bakal nemenin mas terus sampe sembuh."

"Kamu nggak perlu janji kaya gitu Ra, aku nggak mau berharap sama kamu."

Sandi menatap Ara sendu. Orang yang berhasil membuatnya yakin kembali akan kata Cinta setelah melihat kisah orang tuanya. Sandi sama sekali tidak percaya akan Cinta, tapi setelah bertemu dengan Ara, Sandi kini tau apa itu makna Cinta.

Ara menggenggam tangan kanan Sandi yang terbebas dari infusan, "aku bakal nemenin mas Sandi sampai sembuh, aku janji."

"Nggak usah dipaksa Ra, aku tau kamu masih belum bisa lupain Kevin."

"Kevin masa lalu aku sekarang mas, aku udah nggak ada apa-apa lagi sama dia." tegas Ara yang tiba-tiba saja hatinya terasa nyeri mengatakan hal itu.

"Tapi kamu masih sayang sama dia, Ra. Aku bisa liat itu."

"Udah ya mas, pokonya sekarang yang terpenting adalah kesembuhan kamu."

***

Ara baru saja keluar dari ruang inap Sandi saat melihat Jevan sudah berdiri di depan pintu.Jevan menatap Ara dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun bisa Ara lihat seperti ada amarah yang terpancar dari tatapan Jevan.

"Lo kenapa?" tanya Ara bingung melihat adiknya seperti ingin memarahinya.

Jevan mengusap wajahnya kasar, "nggak papa, ya uda yuk pulang."

"Lo nggak suka ya gue tiap hari ke sini?" Ara mencoba mensejajarkan langkah Jevan yang berjalan cepat di depannya.

"Lo suka sama Sandi?" tanya Jevan yang tiba-tiba menghentikan langkahnya.

"Lo kenapa si?" Ara menatapnya bingung.

"Jawab gue, lo suka sama Sandi?" tanya Jevan lagi dengan nada sedikit tinggi.

"Lo kalo nggak suka sama Sandi nggak usah kaya gini caranya. Gue cuma mau bantu biar dia biar sembuh dari penyakitnya."

"Gimana dengan bang Kevin?"

LASSITUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang