"Kau bercanda, kan? Nggak lucu."
"Raganya hidup, tapi jiwanya mati." Alvaro menghela napas lelah. "Kai bunuh diri. Alay banget, kan? Itu kan, yang mau kau bilang ke dia?"
Ketika Alvaro bilang gitu, rasanya sesak dan tak percaya. Bukan karena kecewa, tapi karena menyesal. Padahal, aku sudah berbulan-bulan jadi pacar Kai tapi aku sama sekali tak bisa memahami dia.
"Aku nggak akan bilang gitu. Aku pengen ketemu dia, please."
"Kai udah sangat menderita, Naj. Dia kehilangan papanya, harus ngubur mimpinya masuk tata boga, masuk IPA meski dia tau dia salah jurusan. Tapi, mamanya nggak habis-habisnya nuntut dia buat jadi sempurna. Nyalahin dia terus. Dan kau? Bukannya jadi support system yang baik, kau malah berekspektasi lebih. Apa kau pengen nambah penderitaannya lagi? Pacar macam apa kau ini? Useless."
Aku diam, tersentak dengan kata-katanya yang menikam hatiku terlalu kuat.
"Hari itu aku tau dari Kayla kalo mamanya kembali men-trigger dia dengan kata-kata yang bikin Kai makin down. Dan yah, itu hari yang sempurna untuk seseorang mengakhiri hidupnya, kan?"
Apa iya?
Apa kata-kata penolakanku kemarin juga bikin dia down? Ah, harusnya kemarin aku nggak sekasar itu.
Maaf ...
"Alvaro, itu nggak mungkin. Jangan nakut-nakutin aku, deh. Aku beneran pengen minta maaf ke dia."
Alvaro menghela napas, melihat kesungguhanku ia luluh juga. "Oke. Tapi inget, dia lagi nggak stabil sekarang. Jangan mengatakan sesuatu yang bikin dia sedih, atau aku nggak akan pernah memaafkanmu."
Aku mengangguk yakin.
***
"Jangan berisik, ya." Alvaro menunjuk sebuah pintu ruangan Kai dirawat. "Inget apa yang aku bilang."
Aku mengangguk paham.
Aku membuka pintu yang kini berdecit, kemudian duduk. Hatiku rasanya seperti dicabik-cabik melihat Kai yang terbaring lemas. Tak berdaya. Tertidur lelap, dan aku tak berniat membangunkannya.
Melihat tangan kirinya yang penuh bekas luka karena sayatan yang dalam, membuatku ngilu.
Rasanya aku ingin menangis karena tak tega. Aku terlalu terbiasa melihat Kai yang ceria dan menyebalkan dengan hoodie lengan panjangnya, hingga lupa cowok itu juga punya sisi gelap tak terjamah.
"Kai?" Kupanggil namanya pelan. Sengaja, karena enggan mengganggu tidurnya. "Maaf, kemarin aku nolak dengan cara yang kasar."
Aku sangat merindukannya. Melihat dia masih hidup saja rasanya senang. Aku ingin sekali mengatakan banyak hal yang berada di kepala, selagi ia masih memejamkan matanya.
"Aku nggak mau nolak dengan cara kayak gitu. Meski kita mantan, aku nggak membencimu sama sekali. Tapi, Fida menyuruhku berjanji agar aku menjauhimu. Aku nggak ada pilihan lain karena dia satu-satunya temenku. Kau tau sendiri, kan? Tapi tetep aja, aku ditinggalin."
Aku menghela napas.
"Kai, jangan kayak gini lagi. Jangan menghadapi semuanya sendiri. Jangan nyakitin dirimu sendiri. Karena setiap kali kau ngerasa sakit, aku juga ngerasa sakit."
Aku meminum sebotol air mineral di atas nakas karena begitu haus. Rasanya, aku ingin nangis. Tanpa sadar, setetes air mata mengalir tanpa aku sadari.
"Aku nggak suka kalau kau nggak di kelas. Ayo bersikap nyebelin lagi. Ayo nyontek PR-ku lagi. Ayo panggil aku Dinosaurus lagi. Jangan jadi pendiem, itu bukan kau banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacar Unfaedah 2 (SUDAH TERBIT ✅)
Humor[MASIH LENGKAP✅ ] 1. Mengakui cowok selalu benar. 2. Mengakui Kai adalah cowok yang paling ganteng. 3. Dilarang menyentuh. Berawal dari ketiga syarat aneh itu, Kai dan Najwa pun resmi pacaran. Berbagai kejadian menyebalkan membuat Najwa sadar...