Extra Part - Maafkan Mama

251 46 20
                                    

“Bila saja semua orang bisa berani menyatakan perasaannya. Pasti dinamika yang mengatasnamakan cinta tidak akan terjadi.”

- I Wuf You (Wulanfadi ) -
***

Kangen ga sama cerita ini?

***
Alvaro tercengang melihat Kai yang mendadak semangat sekali sekolah. Padahal, ia baru keluar dari rumah sakit setelah kejadian itu.

"Besok kau mau ke sekolah?"

"Iya."

"Kok mendadak?"

"Kangen dimarahin Bu Adel, Pak Park, Bu Dita, dan guru-guru lain. Lagian tugasku banyak yang keteteran."

Alvaro menghela napas. "Tapi kau masih belum pulih, kan? Gimana kalau malah makin drop?"

Kai menggeleng. "Gapapa."

"Kaki keseleo, tangan masih luka kayak gini. Yakin?" Alvaro memastikan sekali lagi.

"Gausah lebay. Kakiku udah mendingan. Tanganku cuma kesayat, bukan diamputasi." Kai harus berulang kali meyakinkan temannya bahwa ia baik-baik saja. "Kalau nggak percaya, aku bisa kayang sekarang. Mau aku praktekin?"

"Hush! Nggak usah aneh-aneh!"

Kai tertawa melihat Alvaro yang takut. Menurut cowok itu, Alvaro terlalu berlebihan. Padahal, Kai merasa sehat-sehat aja.

"Sa, minjem hoodie."

Alvaro menunjuk hoodie yang ia kenakan. "Ini? Buat apaan?"

Kai menunjukkan luka-luka di tangan kirinya dan tersenyum. "Biasalah, buat nutupin ini."

"Udah tau hoodie cuma satu, dikasih ke Najwa pula. Dasar bucin." Alvaro melepas hoodie yang dia pakai dan memberikannya pada Kai. "Nih. Ntar aku beliin yang baru."

Alvaro memang seroyal itu. Sudah tak terhitung berapa kali ia membelikan Icha hadiah mahal, seolah duit tinggal metik doang. Anak dokter mah bebas.

"Nggak sekalian beliin saham?"

"Nggak usah ngelunjak."

"Bercanda." Kai menangkap hoodie Alvaro dan meletakkannya di pangkuan. "Elsa, makasih."

Alvaro melirik. Jarang-jarang temannya yang gengsinya tinggi itu mau mengucap terima kasih. "Untuk?"

"Semuanya." Kai diam sejenak. "Padahal aku ini nggak waras. Aku juga sering bikin kau susah. Tapi kau mau temenan dengan orang sepertiku."

"Kau waras, kok. Emang lingkunganmu aja yang nggak waras. Kalau aku di posisimu, kayaknya aku nggak akan sekuat itu."

"Kau nggak ada niatan adu nasib? Hidupmu kan, lebih ngenes. Mamamu meninggal sejak kau masih kecil."

"Kau juga kehilangan papamu, kan? Dahlah, nggak ada gunanya mengadu nasib yang sama-sama ngenes."

"Bener juga."

Kai tahu Alvaro orangnya baik, sangat baik malah. Namun, sifat posesif temannya itu kadang menyebalkan. Sepanjang Kai masuk rumah tadi, ia tidak menemukan benda tajam sama sekali. Bahkan gunting kuku sekalipun.

"Silet, pisau, gunting, kok nggak ada?"

"Aku nggak bisa biarin kau pegang benda-benda tajam. Bahaya." Alvaro menggelengkan kepala. "Gimana kalau kau kumat lagi?"

"Nggak, Sa."

"Aku nggak percaya."

"Kalau aku mau masak, gimana? Susah kalau nggak ada pisau." Kai kini memasang wajah memelas.

Pacar Unfaedah 2 (SUDAH TERBIT ✅) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang