chapter 11

1.2K 134 33
                                    

Ujung senja membawa angin menari, menyisakan gundah ketika pagi menyepi. Rindu menyeruak saat senja menanti malam.

Sore hari adalah waktu yang paling ditunggu sebagian orang untuk bersantai sembari menikmati hangatnya sisa-sisa cahaya matahari.

Layung senja telah mencuatkan sinar indahnya. Akan tetapi mereka yang ada disana masih saja tetap di posisi yang sama dan dengan perasaan yang sama.

Tatapan-tatapan yang di berikan para saudara dan teman-temannya berpaling pada blaze. Ia nampak ragu untuk berkata-kata. Memang ia yang salah, kenapa tadi ia sampai lupa untuk mengunci pintu kandang ayam miliknya setelah memberi makan para makhluk berbulu itu.

Dilihatnya thorn yang masih saja terhanyut dalam tangisannya. Semua saudaranya mengerti akan hal itu.

Bagaimana tidak, thorn membuat taman kecilnya bersama sang ayah saat beliau masih bersama mereka dulu. Ia mulai bercocok tanam saat usianya menginjak lima tahun.

Tapi sekarang kebunnya sudah hancur lebur akibat kecerobohan blaze. Hanya beberapa saja yang masih berdiri dengan tegap. Untungnya, thorn menyimpan tanaman kesayangannya di kamarnya dan solar, sebagian lagi ada di teras atas.

"Lo kenapa pake lupa segala sih?. Kan jadi repot urusannya." Lengan solar mendorong kasar sebelah bahu blaze, membuat sang empu bahu tersungkur beberapa langkah. Untungnya ia bisa menompang tubuhnya yang ringkih itu.

"Cup cup, thorn. Udah dong nangisnya. Ayo kita ganti baju dulu." Gempa mengelus surai adiknya lembut. Thorn hanya mengangguk. Ia tidak sedikitpun mengurangi raungan tangisnya.

"Kak blaze nakal. Tholn benci sama kak blaze. Tholn ngga mau main sama kak blaze lagi." Di tengah sesegukan nya ia mengeluarkan unek-unek yang sedari tadi ia biarkan. Kemudian ia berlari meninggalkan semuanya ke kamarnya.

"Thorn... " Lirih blaze. Ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk membela dirinya sendiri atau meluapkan emosinya.

Secara dalam ia berpikir memang ini adalah salahnya. Coba saja ia tidak lupa, pasti perkataan solar benar, semua ini tidak akan merepotkan.

"Gua nyusul Thorn dulu ke kamarnya. Dan lo blaze. Urusin kekacauan lo." Tatapan dingin nan mencekam milik gempa tertuju pada blaze. Yang di tatap hanya menganggukkan kepalanya kaku dan tersenyum sendu.

Semua yang ada di halaman belakang kembali masuk ke dalam rumah. Tatapan sinis kembali tertuju pada blaze. Yang ditatap hanya menundukkan kepalanya.

Berbeda dengan taufan yang berhenti di hadapan blaze. Kemudian memegang kedua pundak blaze.

"Tenang blaze. Gua tau lo ngga sengaja tadi. Dan sekarang ayo kita beresina kebunnya terus kita tangkepin deh tuh si asep, si ujang, si ucup, bibit-bibit nya yang semok." Ujar taufan dengan sedikit cengiran di akhir kalimatnya.

"Makasih kak." Senyuman getir ia berikan pada taufan. Taufan hanya mengangguk sembari membalas senyuman sang adik.

••••

Jingga yang barada di bahumu. Malam pula berada di hadapan mu. Dan bulan siaga sinari setiap langkah.

Tidak perlu malam untuk sekadar menyaksikan kegelapan, di sudut sepi hidup, dapat di saksikan nya cahaya yang begitu redup.

Suara angin malam menggiurkan keheningan di malam hari yang sepi. Malam ini terasa begitu sepi. Walaupun belum begitu larut, seisi rumah lebih memilih mengisi kamarnya masing-masing.

Begitu juga dengan pemuda bermanik Oranye. Ia memilih melihat bintang-bintang yang dengan tenang dari balik jendela.

Bintang yang terlihat tenang berada di atas, dengan beberapa bintang lainnya yang berkedip.

I WAS WRONG (BoBoiBoy) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang