Akara Kedelapan

327 53 5
                                    

Bang Nathan itu, nggak pernah mau bilang  apa kesusahan nya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bang Nathan itu, nggak pernah mau bilang  apa kesusahan nya. Makanya, kadang sesek aja liat kalau dia senyum.
—Jie

🍒🍒🍒


Hujan rintik mulai datang menghalangi niat kami untuk memburu mobil itu. Padahal aku yakin sepanjang hari ini cerah dan berawan. Kenapa tiba-tiba sekali datangnya?

"Ra, sebentar lagi sampai. Pegangan." perintah Nalendra dan aku mengeratkan peganganku pada kaos yang ia kenakan.

Benar saja, petir menyambar dan beberapa dedaunan gemerisik riuh saat hujan mulai menghujami. Benar-benar perbedaan cuaca yang amat sangat drastis terjadi kali ini.

Entah bagaimana, aku yakin hal ini adalah pertanda buruk yang akan aku hadapi sebentar lagi.

Tepat didepan knalpot mobil yang masih hangat, Nalendra dengan tenang memarkir sepedanya.

Bunyi hujan sukses besar menyamarkan suara langkah kaki kami maupun berisik rantai sepeda. Aku sedikit lega dan berterimakasih pada semesta yang memuluskan jalanku pada rumah Nathan.

Rumah kecil yang masih dapat kuingat segenap pikiran. Rumah mungil tempat dimana Nathan dan Jivan berteduh.

PYAR! PRANG!

Suara pecah-belah dari dalam rumah membuat Nalendra menarik tanganku cepat untuk menuju semak belukar dekat jendela samping rumah. Bersyukurlah akibat tanaman yang jarang dirawat membuat kami berdua cukup bersembunyi.

Nalendra memegang kedua bahuku, "Ra, setelah malam ini. Apapun yang lo lihat, lupakan. Bersikap biasa aja seakan lo nggak lihat apa-apa di rumah kecil ini."

Aku mengangguk pelan. Ditengah guyuran hujan, aku sanksi akan apa yang aku lihat sebentar lagi.

Nalendra mengarahkan ku untuk melihat pada jendela yang tirainya telah sobek di beberapa bagian hingga aku bisa melihatnya dengan jelas.

Nathan Jevantara disana. Sedang tersungkur dikelilingi pecahan keramik.

Aku menutup mulut, tak percaya akan apa yang barusan kulihat.

"Abang!"

Aku mendengarnya. Teriakan Jivan menggaung keras hampir berlomba dengan petir yang saling menyahut.

Aku melihat Jivan berada diambang pintu yang ku yakini itu adalah kamarnya dengan wajah gamang dan pucat. Tentu saja, siapa yang tega melihat Saudara mu dipukuli sedemikian rupa didepan matamu sendiri?

Akara || Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang