21. Menyesal

55 3 0
                                    

Malam juma't sudah tiba, seusai diba'iyah, para santri berkumpul di aula untuk mendengarkan pengumuman dari pengurus.

Siapa saja yang melanggar peraturan akan diumukan pada hari ini. Mulai dari telat jamaah, kebersihan kamar, keramaian waktu musyawarah, keluar pesantren tanpa izin, tidak setor ataupun muraja'ah, dan lain lain.

Ustazah Fathimah berdiri di tengah-tengah para santri, mengumumkan secara rinci siapa saja yang melanggar dan apa saja sanksinya.

Najma dipanggil ke depan oleh Ustazah Fathimah. Semua mata menatap ke arahnya, ada yang bisik-bisik, mencemoohnya dan sebagainya.

Suasana menjadi hening ketika bunyai Musyrifah masuk ke aula. Para santri membungkuk memberi hormat kepada beliau yang saat ini hendak duduk di kursi.

"Jangan memperolok Najma, bagaimana pun dia teman kalian. ambil pelajarannya saja, kita tidak berhak menghakiminya. Namun, untuk alasan apapun perbuatan seperti itu memang tidak bisa dibenarkan. Kita dengarkan dulu permintaan maaf dari Najma. Sebab, tidak ada manusia yang sempurna semua pasti pernah melakukan kesalahan. Apalagi Najma sudah mengakui kesalahan dan menyesalinya itu sudah sangat baik, ditambah ia berani meminta maaf dan ingin berubah. Maka kita sebagai temannya harus menghargai itu."

Najma berlinang air mata, bibirnya kelu. Dia tidak mampu mengatakan barang sedikitpun. Namun, Najma harus bertanggung jawab atas apa yang telah ia perbuat.

Najma meminta maaf dengan penuh penyesalan terutama kepada Neha, ia tidak berani menunjukkan wajahnya. Tetap menunduk malu.

Bunyai Musyrifah memberi pencerahan kepada para santri, agar suatu hari tidak mengulangi kesalahan lagi.

Pengumuman ditutup dengan pembacaan do'a. Para santri khusuk mengamini setiap bait-bait doa yang dilantunkan oleh Bunyai Musyrifah. Setelah itu beliau pergi meninggalkan aula dan para santri saling bersalam-salaman melingkar berurutan seperti kereta berputar mengelilingi aula.

Najma dikenakan sanksi membersihkan semua sandal dan piring makan santri putri selama sebulan penuh. Serta, Berikrar di depan para santri mau itu santri diniyah ataupun santri tahfiz dengan mengenakan kerdus yang dikalungkan ke lehernya dan bertuliskan bahwa ia memfitnah temannya. Setiap kali ia keluar pondok, bahkan ke kampus pun ia tetap harus memakai kalung itu.

******

Hari-hari telah berlalu. Seorang Najma Bilqis yang sudah mulai terbiasa dengan setiap cibiran teman-temannya, serta ia yang terasingkan.

Neha selalu memperhatikan Najma saat ini berubah menjadi penyendiri. Ia iba terhadap Najma, ingin sekali berada di sampingnya. Namu, Rere terus melarangnya dengan alasan biarkan beri waktu untuk Najma sendiri dulu.

Sempai suatu ketika ...

Najma sedang mencuci piring kotor yang Tidak kunjung habis di wastafel. Para santri seakan sengaja membuat Najma terus berdiri membersihkan piring-piring kotor itu. Karena kelelahan namun tetap ia paksakan membuatnya tumbang di sana. Najma, di gotong oleh teman-temannya ke kamar. Namun, setelah bangun pun tidak ada orang di sampingnya kecuali Neha.

Najma semakin kesal. Kenapa harus Neha? Berapa banyak lagi yang harus ia berhutang budi terhadapnya?

"Najma kamu sudah bangun?"

"Neha, bisakah kamu pergi? Tolong biarkan aku sendiri!" serunya dengan balik badan membelakangi Neha.

"Yeeeee ... dikasihani malah gitu," sahut Rere malas melihat Najma yang jual maha.

"Udah ah, ayo pergi! Sudah aku bilang Najma enggak bakal berubah!" Rere menarik tangan Neha agar beranjak dari sana.

"Re, tidak boleh begitu!" seru Neha melepaskan tangannya.

kalam cinta pesantren || SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang