Pagi ini di ujung koridor Neha sibuk membisikkan kalam-kalam cinta. Dengan memegang beberapa kitab di pangkuannya. Ia melihat kanan kiri mencari keberadaan Najma yang katanya ada di perpustakaan. Namun, sudah beberapa menit berlalu, Najma tidak kunjunh datang. Ia sesekali melihat jam tangannya panik karena sebentar lagi sudah masuk jam kuliah.
Neha memandangi pintu masuk perpustakaan, mengingatkan bagaimana ia pertama kali bertemu dengan Daffa. Teringat awal mula ia menerima senyuman yang menyentuh kalbunya. Neha telah memantapkan hatinya untuk tidak mengingat-ngingat nama itu lagi. Ia benar-benar ingin membuang jauh-jauh perasaannya.
Neha telah sadar, apapun yang terjadi, apapun yang ia rasakan, tidak akan ada yang berubah. Meskipun Najma terus mengatakan bahwa ia telah merelakan Daffa, Namun bagi Neha bukan itu alasannya.
Ia hanya tidak ingin, sebuah cinta yang seharusnya membawa kedamaian. Namun, berakhir sebaliknya.
Anehnya, Neha menjadi kalut ketika mendengar bahwa Daffa akan segera diwisuda dan langsung pergi ke Tarim Yaman. Hal itu, tidak bisa Neha pungkiri bahwa membuatnya kian bingung dengan perasaannya sendiri. Padahal, hari-hari sebelumnya ia sudah berhasil untuk tidak memikirkan Daffa lagi. Nama Daffa dalam kamusnya hampir terhapus. Tapi kenapa ia muncul lagi. Ketika Neha sudah mulai nyaman dengan kehidupnya yang sekarang. Ia telah mendapatkan kembali orang-orang tersayangnya. Sangat tidak ingin bila hal-hal yang tak diinginkan terulang kembali.
Kepergian Daffa, akan membuatnya lega atau merasa kehilangan?
Benteng pertahanannya mulai runtuh. Setiap usahnya seakan menjadi sia-sia saja. Daffa terus ada di hadapannya membuat Neha merasa terusik. Namun, juga tidak rela bila Daffa pergi begitu saja.
Apa yang harus dia lakukan? Dilema untuk memilih memasang tembok lagi atau biarkan saja Daffa masuk?
Hal itu sangatlah sulit, mengapa masih berharap pada orang yang jelas-jelas akan meninggalkannya. Lebih baik ia pikirkan dulu tujuan hidupnya di pesantren, sempurnakan impian menjadi hafizah kaffah.
Kenapa harus berpikiran hal yang macam-macam tentang perasaan yang belum tentu terbalaskan.
Akhirnya, Neha pun memilih untuk benar-benar melupakannya, pandangan mata yang hanya sesaat memang mampu membuatnya tersirat. Namun, jika hanya sekejap untuk apa ia menetap?
Neha terperanjat ketika Najma sudah ada di sampingnya. Mereka telah bersatu kembali. Sebab, setiap sajadah membutuhkan tuannya begitupun sebaliknya.
Mereka menuju ke kelas dengan terburu-buru, jilbab syar'i milik Neha yang menjuntai sepunggung melambai-lambai tertiup angin.
Neha memekik berhenti ketika menyadari bahwa ujung jilbabnya yang memiliki manik mutiara itu menyangkut ke kancing pergelangan tangan seseorang. Tentu saja itu tangannya Daffa, ia mendengus kesal. Kenapa lagi-lagi dia harus berurusan dengan Daffa.
Neha terus menarik paksa agar cepat lepas dan pergi jauh dari hadapannya Daffa. Daffa terkekeh Melihat sekilas wajahnya di balik jilbab Neha yang berwarna biru muda, terlihat samar-samar wajah Neha yang ditekuk seperti lipatan baju. Bahkan alisnya pun hampir menyatu bak belenggu.
"Sabar, sini biar aku saja!" serunya segera mengambil alih pekerjaan Neha yang diselimuti emosi, sehingga untuk melepasnya pun sangat lama.
Neha makin kesal namun lebih baik ia menurut dan berbalik membelakanginya membiarkan Daffa yang bekerja. Karena posisi saat dia berusaha memperbaiki sendiri memang lebih susah.
Neha menatap Najma sadis karena sedari tadi dia cengengesan mengejeknya.
Tak lama, akhirnya terlepas juga. Neha bergegas menarik tangan Najma meninggalkan Daffa tanpa terimakasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
kalam cinta pesantren || SUDAH TERBIT
Teenfikceperjuangan seorang santri dalam menahan nafsunya di jalan allah, dan memilih menyembunyikan sedalam mungkin cintanya terhadap yang belum halal untuknya