Hari-hari di pesantren tidak membuat seorang Nehanna Andhini kesusahan. Dia bahkan menikamati kebersamaan dan keadaan itu penuh dengan suka cita. Mulai bisa bergaul dengan santai, sudah menemukan teman yang selalu siap mendengar segala kelu kesahnya. Mengikuti peraturan-peraturan pesantren dengan tertib. Mulai dari yang ringan bahkan yang sulit ia laksanakan.
Di pesantren, Neha mulai terbiasa dengan melihat pemandangan para santri tahfiz yang menghafal di mana pun berada. Tidak harus di musala atau kamar, jika tempat itu aman dan nyaman, kenapa tidak? Seperti, mulai dari duduk di atas pohon, duduk di pinggiran tangga sambil mengetuk-ngetuk tembok berusaha untuk konsentrasi, bahkan orang berlalu-lalang pun tidak diperdulikannya.
Neha telah belajar banyak, tentang bagaimana harus fokus dalam menghafal Al qur'an, dan pastinya tidak pernah meninggalkan yang namanya murajaah.
Bahkan sejauh ini, Neha belum pernah terkena takzir. Ia menyetor hafalan dan murajaah dengan rajin. Sholat selalu tepat waktu, sedikit demi sedikit, ia juga mulai hafal setiap wirid. Seperti Rotibul Haddad, Rotibul Atthas, Istighosah, dan lain sebagainya.
Seorang Nehanna, yang memang pandai bergaul dan bisa berkomunikasi dengan baik, menjadikanya seorang gadis yang nyaman untuk diajak berbincang. Seperti halnya Najma, yang sangat menyukai Neha, menganggapnya seperti saudara sendiri.
Bahkan kehidupan Neha di pesantren nyaman dan damai sebab bantuan dari Najma, yang senantiasa selalu ada dalam suka mau pun duka.
Najma selalu memperhatikan Neha, bagaimana ia harus menghindari yang namanya melanggar peraturan. Sebab adanya Najma lah Neha bisa menjalani hidup yang baik tanpa hambatan apapun.
Lampu-lampu mulai padam, Neha ditemani Najma duduk di pinggiran balkon. Memandangi langit yang penuh dengan gemerlap bintang bertebaran.
Sudah beberapa hari berlalu dari awal perkenalan mereka. Sekarang sudah seperti sepasang mukena dan sajadah, tidak terpisah. Jika pun terpisah maka salat itu perlu memperhatikan tempatnya dahulu, jika tempatnya bersih dari hadas, boleh-boleh saja. Namun, jika tidak layak, justru itu membuat salat menjadi tidak sah, karena sebagaimana dalam kitab Safinatun-naja dijelaskan salah satu syarat sahnya salat adalah:
"Bersih dari najis dalam pakaian dan badan dan tempat (tempatnya shalat suci dari najis)"
Begitulah mereka sekarang. Yang saat ini tengah menikmati hembusan angin malam sambil menatap langit, memperbincangkan hal-hal kecil. Mulai dari tadi sore setoran hafalannya morat-marit, murajaahnya muter-muter, dan yang paling wajib diperbincangkan adalah makanan Buk Inah yang kehabisan lagi.
Namanya juga santri, sudah dibagi lauknya malah masih mau jatah lagi, dengan alasan inilah dan itulah. Sehingga Buk Inah keteteran buat melayani mereka. Inilah kelebihan namun juga jadi kekurangan dari santri tahfiz dapat jatah prasmanan, tidak seperti santri diniyah yang dapat jatah perkotak nasi, jadi pembagiannya pasti merata. Sedangkan santri tahfiz boro-boro merata, telat sedikit saja sudah siap-siap kehabisan lauk.
"Oh iya, aku penasaran deh Neha, kenapa kamu enggak mau ikutan grup sholawat? Padahal suaramu bagus banget loh!" seru Najma penasaran.
"Entahlah, aku enggak yakin kalo ikutan, lagipula aku 'kan enggak ada waktu buat gituan," jawab Neha ragu.
"Yaampun Neha! Kamu itu harus melakukan hal baru, enggak ngaji mulu! Iya sih, memang bagus kalo kamu fokus sama hafalanmu, tapi setidaknya biar otak mu itu, lebih relaks," terang Najma panjang lebar.
"'Kan ngaji juga bikin relaks," kilahnya singkat.
"Iya Neha, cuma kamu itu biar bisa menggali bakatmu juga yang terpendam itu loh! Ayolah Neha, aku pengen ngasih tau ke orang-orang bahwa aku punya temen yang berbakat kayak kamu. Biar aku ada temennya juga kalo pas lagi ada acara. Jadi, kita terus bareng-bareng! Iya 'kan?" paksa Najma memohon seperti anak kucing.
KAMU SEDANG MEMBACA
kalam cinta pesantren || SUDAH TERBIT
Novela Juvenilperjuangan seorang santri dalam menahan nafsunya di jalan allah, dan memilih menyembunyikan sedalam mungkin cintanya terhadap yang belum halal untuknya