1. Pesantren

402 19 1
                                    

Al-Anwar, adalah pesantren tersohor di Jawa Timur. Yang diasuh langsung oleh K.H. Abdullah Khaliq, kiyai termasyhur dan terkenal akan kewibawaannya.

Gedung pesantren yang megah, dengan interiornya seperti adat di Timur Tengah. Terlihat jelas, bahwa pengajaran dan budaya di pesantren itu sangat salaf dan mengikuti modernisasi.

Para santriwati, berlalu-lalang dengan membawa kitab-kitab di dekaapannya. Keindahan menyegarkan mata membuat siapa pun yang melihat, membuatnya mengerti bahwa sebagai santri itu tidak hanya berbudi luhur, tetapi juga berpendidikan tinggi.

Seorang gadis remaja berumur sekitar delapan belas tahun, berjalan menyusuri gerbang Pesantren Al-Anwar ditemani saudara perempuan dan ibunya.

Nehanna Andhini, memiliki wajah manis lengkap dengan lesung pipi di sebelah bibirnya yang mungil. Bulu matanya lentik serta hidung mancung.

Neha memang bukan dari kalangan priyai maaupun ulama besar, tetapi dia memiliki sosok yang lemah lembut seperti nama belakangnya Andhini yang berarti penurut.

Menjadi anak bungsu, tidak menjadikan dia anak yang manja. Bahkan untuk mondok di pesantren adalah keinginannya. Sehingga mau tidak mau keluarganya menyetujui, meskipun dengan sedikit berat hati.

Neha menyalimi saudari dan ibunya dengan santun, berpamitan untuk meminta restu. Semoga ia mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan berkah dunia akhirat. Ibunya membalas, memeluk hangat anak bungsunya itu dengan erat, berusaha menguatkan diri sebab akan berpisah dengan anak tercinta.

"Yasudah, Ibu dan Mbak pulang, ya!" Ibu Neha melepaskan pelukannya, sembari memperhatikan wajah manis sang anak yang menatap sayu ke arahnya.

Neha menurut, dengan senyum lebar yang dipaksakan, sambil menundukkan kepala tak kuasa jika harus beratatapan langsung dengan ibu dan saudara perempuan satu-satunya.

"Udah, enggak usah sedih!" seru saudarinya, mencoba menghibur adik satu-satunya. Ia bernama Yera.

Neha membalas ucapan saudarinya itu dengan mengangguk mantap. Mereka pun akhirnya pergi. Neha hanya dapat memandangi punggung milik mereka yang mulai menjauh. Lalu Neha berbalik sedikit. Tiba-tiba, air matanya menetes tanpa ia sadari. Segera ia menyeka dengan cepat, karena ia harus menjadi Neha yang kuat, inilah pilihannya. Semangat Neha!!

Neha berjalan menyusuri lorong pesantren dengan mengikuti seorang wanita sekitar umur 24 tahun mengantarkannya ke kamar yang akan di tempati oleh Neha. Mbak pengurus, begitulah sebutan biasa dari kalangan para santri. Dengan membawa koper yang di genggamannya, Neha berjalan dengan percaya diri. Meskipun ia merasa tidak nyaman dengan tatapan orang di sekitar, yang seakan-akan hanya tertuju padanya saja. Namun, Neha memilih menghiraukannya, sebab ia sudah tahu bahwa itu adalah hal yang wajar.

Neha dibawa ke asrama tahfiz, yang letaknya jauh berada di Ndalemnya Bunyai Hj. Musyrifah, saudara perempuan K.H. Abdullah Khaliq, yang terpisah dengan asrama santri Diniyah atau biasa disebut santri kitab.

Neha masuk ke dalam kamar yang bertuliskan Darul Jannah dengan kaligrafi besar terpampang di temboknya. Ia menyapa teman sekamarnya itu dengan ramah.

"Neha, ini Lokermu. Saya tinggal dulu ya? biarkan Nafisah yang membantumu." ucap Mbak Pengerus itu dengan tenang, lalu pergi.

Nafisah berdiri menghampiri Neha yang masih mematung.

"Sini kopermu biar aku bantu beresin," tawar Nafisah ramah.

"Ah enggak usah repot-repot aku bisa sendiri kok," jawab Neha sedikit sungkan.

"Udah enggak repot kok! Lagian, kita 'kan sudah jadi keluarga," ucapnya sambil mengambil koper yang sedari tadi dipegang erat Neha.

"Fita, Lulu, bantuin, dong!" perintah Nafisah kepada dua gadis di pojokan yang seumuran juga dengannya, yang sedari tadi hanya sibuk mengunyah cimol dengan dibumbui sambal petis hitam madura.

Fita dan lulu menghampiri Nafisah dengan wajah serba salah.

"Oh iya, kenalin namaku Fita, dia Lulu dan yang bermuka serius itu Nafisah," ucapnya hati-hati karena takut Nafisah mendengarnya. Namun, percuma saja Nafisah sudah terlanjur meliriknya dengan tatapan tajam. Fita hanya cengar-cengir berharap Nafisah tidak meledak saat itu juga.

"Aku Neha, salam kenal, ya," jawab Neha santun.

Fita dan Lulu terkekeh–Neha bingung.

"Kenapa?" Tanya Neha heran.

"Kamu Jawa tulen, ya?" tanya Lulu.

"Jelas lah, Neha dari Jogja ya 'kan?" sahut Nafisah yang masih sibuk menata barang-barang milik Neha.

Neha mengangguk.

"Eh Neha, kamu pakai bedak ini?" tanya Fita dengan menunjukkan botol bedak bayi berwarna biru berukuran sedang.

Neha mengangguk. Lagi-lagi membuat Lulu dan Fita terkekeh geli.

"Kayak masih TK saja kamu, Ne!" seru Fita yang disusul dengan gelak tawa Lulu.

Neha terdiam.

"Kalian rame banget! Bantu beresin apa bantu ngacak-ngacakin? Enggak sopan tahu!" tegas Nafisah yang membuat Lulu dan Fita seketika membisu, dan berpura-pura sibuk menata ulang barang-barang Neha ke loker.

Neha tersenyum melihat tingkah mereka.

"Agak cepetan, ya! Kayaknya bentar lagi udah mau azan, deh!" seru Nafisah tegas.

"Oh iya, Fisa. Aku dan Lulu pergi ngantri dulu, ya! Lagipula yang dapet izin jama'ah di kamar 'kan cuma kamu. Nanti kita ditakzir lagi kalo telat, kita tinggal dulu ya, Neha," ucapnya terburu-buru keluar dari kamar dengan menarik tangan Lulu.

Lulu melambaikan tangan ke arah Neha, yang dibalas dengan senyuman manisnya.

Beberapa menit kemudian, tepat setelah membereskan barang-barang Neha, azan zuhur pun berkumandang.

"Neha enggak halangan 'kan?" tanya Nafisah tiba-tiba.

Neha menggeleng.

"Yasudah, yuk siap-siap wudu pergi ke musala!"

Neha menurut, dan mengikuti Nafisah yang berjalan tapi hampir seperti berlari, karena Nafisah adalah gadis yang disiplin. Meskipun sudah mendapat izin, tapi dia tetap kekeh ingin berjemaah di musala. Apalagi ada darah ulama besar yang mengalir dalam tubuhnya. Sehingga kealimannya mengalir begitu saja dalam dirinya.

Namun, sesampainya di tempat wudu, antrian panjang terlihat jelas di sana. Sehingga, Nafisah tidak punya pilihan lain selain menggunakan Neha untuk bisa memotong antrian.

"Permisi, ada santri baru, mohon pengertiannya, ya!" seru Nafisah sambil menarik tangan Neha terburu-buru.

Tiba-tiba, Neha berhenti, karena merasa tidak enak hati kepada para santri yang sudah mengantri lebih dulu.

"Udah Nafisah, aku tunggu di belakang saja," Neha ragu.

"Aduhhhh, Neha enggak papa! Lagian, mereka semua ngerti, kok! Jika kamu di posisiku pasti bakal ngelakuin hal yang sama." pinta Nafisah hampir memaksa, dan membawa Neha ke antrian terdepan.

Neha pun akhirnya menurut, karena bagaimanapun juga, Nafisah telat mengantri karena membantunya membereskan barang-barangnya.

Setelah selesai wudu, Neha dan Nafisah terburu-buru menuju musala, seperti dugaannya, salat berjemaah sudah dimulai. Nafisah kesal sendiri, karena ketinggalan satu rakaat salat, dengan cepat-cepat Nafisah dan Neha menyusul.

Jemaah sholat zuhur sudah selesai, para santri khusuk wiritan serentak. Kalam-kalam Ilahi memenuhi musala itu. Menyejukkan hati, menenangkan jiwa. Wakaupun ada sebagian yang mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa sadar menahan kantuk, tapi bibirnya senantiasa menyerukan lafaz-lafaz yang harus dilantunkan. Seperti yang dianjurkan dalam Al qur'an surah Al Jumu'ah ayat ke 10 yang berbunyi

"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan berdzikirlah kepada Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung." (QS. Al Jumu'ah: 10).

Setelah salat dan zikir, Neha dan Nafisah ke kamar, disusul oleh Fita, Lulu dan tiga lainnya yang bahkam belum Neha kenal.












Semoga suka kisahnya yaaaaa

kalam cinta pesantren || SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang