8. Alfatih - So Tara Let's get Married

739 115 26
                                    

Masih teringat jelas percakapan antara aku dan Tara tiga hari lalu. Sampai saat ini aku tidak pernah bercanda mengenai sebuah hubungan apalagi pernikahan. Sebagai seorang duda di usia tiga puluh lima tahun tentu aku membutuhkan pasangan yang tidak hanya untukku melainkan juga kedua putriku.

But man tentu aku ngomong begitu tentu nggak ke semua perempuan. When i talk it i mean it. Nggak mungkin aku berani ngomong begitu tanpa ada rasa kecocokan dan ketertarikan sebelumnya. Masalah cocok rasanya kecuali dengan sifat dan tingkah Tara yang 'sedikit' nyeleneh aku tidak ada masalah, dan untuk ketertarikan tentu aku tertarik dengan Tara. She's a good person to be loved. Lihat bagaimana dia menyayangi dan berinteraksi dengan keluarga dan orang terdekatnya, dia menarik dengan gayanya yang supel dan ceria, dengan Tara aku merasa semua terasa mudah, namun aku sadar betul dengan perbedaan yang nyata diantara kami. Terkadang aku merasa rendah diri dengan status dan jarak usia kami. Sebelas tahun bukan waktu yang sedikit, bahkan ketika aku sudah hendak lulus sekolah dasar Tara baru lahir.

Tapi bukankah Tuhan memberikan kita jodoh tanpa memandang usia dan status?

Dari situ aku mulai percaya diri dan caraku meyakinkan segalanya adalah dengan meminta jawaban pada yang Kuasa. Aku sadar akan banyaknya perbedaan antara kami berdua baik dari sifat, usia, bahkan sampai status. Tapi bukankah perbedaan itu yang nantinya menjadi warna dan pembelajaran yang baru bagi kami.

Dahulu aku dan Rania—mantan istriku memiliki banyak sekali kesamaan. Kami memiliki hobi, sifat, sampai bidang yang sama dalam pekerjaan. Kami berdua adalah teman semasa kuliah dan rekan dalam organisasi mahasiswa. Pernikahanku dan Rania yang gagal menjadi pembelajaran yang besar bagi hidupku. Dulu mungkin aku dan Rania terlalu terbuai dengan cinta dan segala kesamaan kami. Dulu kami menganggap bahwa dengan adanya kedua itu cukup untuk membangun rumah tangga. Nyatanya kami salah.

Dari kegagalan itu aku belajar bahwa dalam sebuah hubungan tidak hanya mengenai cinta dan kesamaan, tentu banyak hal lain yang diperlukan. Menurutku toleransi, rasa hormat, jujur, dan kepercayaan yang tentunya dibalut dengan komunikasi yang positif merupakan pondasi dalam sebuah hubungan.

"Calon ibu yang baik bangetkan aku  ini. Sampai suster aja ngiranya kita papa mama. Jadi kapan nih papa lamar mama?" kalimat Tara terus teringat dikepala. Rasanya seluruh perhatian dan fokusku terhenti disitu.

Kalau ditanya apakah aku cinta dengan Tara? Jujur aku tidak mengerti bagimana itu cinta. Kalau rasa berdebar debar, tersipu, of course not, rasanya sudah terlalu tua untukku. Yang aku rasakan bersama Tara adalah rasa nyaman, tenggang rasa dan rasa ingin melindungi. Aku menyukai bagaimana dia percaya dan aku mempercayai dia. I need and want her in my life. Jangankan aku rasanya kedua putriku juga tidak bisa hidup tanpa Tara.

But did her need and want me in her life? Tentu aku harus memikirkan hal itu, untukku mungkin sebuah keuntungan bisa mendapatkan Tara, tapi bagaimana dengan dia. Aku tidak mau ada rasa sesal atau rugi yang tertinggal nantinya. Aku tak mau ada yang merasa dirugikan dan diuntungkan dalam hubungan ini, aku ingin kami memang memiliki tujuan yang sama untuk hidup bersama dengan penuh kasih dan sayang hingga akhir hayat.

"Tih." Bunda menepuk bahuku menyadarkan.

"Hm iya bunda?"

"Kamu gak papa? Bunda lihat akhir akhir ini kamu suka melamun. Kalau urusan Thalia kamu nggak usah khawatir banget gitu, bukannya apa Thaliakan sudah ditangani oleh ahlinya."

A New Love LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang