Prolog

85.1K 1.8K 111
                                    

Prolog

Aku hanya seorang anak biasa, sekolah di sekolah yang biasa dan menghadapi kehidupan biasa yang membosankan. Hanya saja ada satu hal yang tidak biasa, aku harus ekstra banting tulang buat meneruskan sekolah karena keadaan keluarga yang serba pas-pasan. Yeah, pas buat makan, pas buat bayar kontrakan, pas buat bayar air, listrik, rekening telepon, dan…

“Oi, Alex.”

“Hm?”

“Lagi-lagi si Ketua Osis itu datang kemari.”

Kecuali satu hal, aku cukup populer di kalangan cowok-cowok “keren” di sekolah ini walau tampangku biasa-biasa saja.

“Alex, bisa aku bicara padamu?”

Yang berdiri di depan jendela sana adalah Ketua Osis sekolah kami, namanya Ariel—tolong baca namanya “A-RI-EL” bukan “A-RIL”—Giovanni. Kadang dia dipanggil “Gio” oleh beberapa teman dekatnya. Sejujurnya, aku tak pernah merasa mengenal dia dan “sekutunya” namun ada satu hal yang membuat kami terkoneksi antara satu dengan yang lain. Itu akan kuceritakan nanti.

Aku menghela napas dan berdiri. Ketika mendatanginya, cewek-cewek sekelasku yang naksir padanya menggiringku dengan tatapan mata beringasan yang siap melahapku kapan saja. Kucoba untuk tak peduli. Tak peduli. Nggak penting…

“Hei, Alex, siang.”

Erk! Aku melotot saat cowok keren yang satu lagi juga muncul. Nggak biasanya dia muncul di kelasku, menyapaku atau bahkan melihatku. Dia bahkan merasa kalau aku ini tak pernah ada! Oh, maaf, aku belum memperkenalkan dia, yang satu ini namanya Kian Rafael. Biar agak keren sedikit, dia lebih sering dipanggil cewek-cewek dengan sebutan “Rafael”, walau Kian hanya mau bereaksi jika dipanggil “Kian”.

“Kalian berdua, kenapa kalian tiba-tiba muncul di kelasku lagi?” gerutuku sebal.

Ariel memberikan buku tebal padaku. “Kemarin ini jatuh di lantai. Aku panggil-panggil tapi kamu tak dengar, jadi kubawa kemari.”

Aku bisa merasakan aura neraka di belakang punggungku.

“Sudah ya, sampai jumpa,” Ariel tersenyum dan berbalik pergi. Aku masih bengong melihat Kian yang masih menatapku dengan dahi mengerut.

“Apa?” kataku jengkel.

“Catatanmu itu lumayan juga,” komentarnya dan dia pergi begitu saja.

Aku tahu kalau dia menghinaku. Tidak. DIA MEMANG MENGHINAKU!

Perkenalkan sekali lagi. Halo, namaku Alexie Selena. Cewek. Tolong jangan salah paham dengan namaku yang satu ini. Keluargaku biasa memanggilku “Lexie” tapi yang lain lebih sudi jika memanggilku “Alex”. Kata mereka lebih keren dan lebih gampang diingat. Aku seorang siswa kelas dua di sekolah biasa-biasa saja.

Hum, seperti sekolah biasa-biasa lainnya, sekolah ini juga memiliki jargon keren dan mereka berdua adalah salah satu yang teratas dari yang lain. Pertama-tama adalah Ariel. Dia Ketua Osis yang seangkatan denganku, si tipe yang biasa digemari guru, orang tua dan teman-teman yang lain. Kalian sudah pasti tahu seperti apa dia. Yup, dia anak cerdas yang sopan, santun, mudah senyum, mudah bergaul dan punya banyak teman, juga anak orang kaya. Cewek-cewek pada ngantriiiiiiiii buat jadi pacarnya. Aku jadi ingat waktu valentine, cewek-cewek itu rela berdesak-desakan cuma karena pengen ngasih dia coklat. Hadeh…

Kemudian diurutan berikutnya adalah Kian. Ehem, berbeda dengan Ariel, jenis yang satu ini lebih baik nggak perlu didekati. Kalau Ariel adalah tipe “pangeran berkuda putih”, nah, yang satu ini adalah “malaikat bersayap hitam”. Dia tipe penyendiri, jarang ngomong, jarang bergerak dari kelasnya dan lebih suka duduk di perpustakaan sambil membaca buku. Anehnya, cewek-cewek juga naksir padanya. Kata mereka, Kian itu sangat misterius dan sulit didekati. Mungkin itu salah satu alasan yang membuat cewek-cewek itu pada naksir padanya bahkan berani nembak dia. Hasilnya diluar dugaan: mereka semua dibuat nangis. Keterlaluan bukan? Tapi cewek-cewek itu tetap saja menganggap dia keren. Mereka sama sekali tidak belajar dari pengalaman.

Dulu, saat aku belum mengenal mereka dan hanya memandangi mereka dari jauh, Ariel dan Kian itu tak pernah hidup bersahabat. Mereka tak pernah saling lirik walau nilai mereka selalu kejar-kejaran di setiap ujian. Mereka tak pernah bertemu di koridor ataupun berpapasan sejak masuk ke sekolah ini. Namun karena “itu”, entah kenapa mereka jadi begini. Padahal itu juga merupakan suatu kebetulan. Bahkan saat mereka bertemu di”situ” dan saling memperkenalkan diri, respon mereka membuatku bingung.

“Halo, namaku A-ri-el,” begitulah dulu Ariel memperkenalkan dirinya.

“Aku Kian. Aku sekolah di SMA Merah-Putih.”

Ariel tersentak. “Eh? Merah-Putih? Aku juga sekolah disana. Kamu kelas berapa? Kok tidak pernah bertemu ya?”

Intinya, mereka tidak pernah merasakan keberadaan antara satu dengan yang lain. Jadi wajar saja mereka tidak berniat mengetahui siapa yang teratas di papan penilaian.

Tapi setidaknya aku, Alex, merasa kalau mereka tidak seperti yang digosipkan anak-anak di sekolahan. Aku tidak pernah berharap kalau aku akan menjadi sedikit terkenal di antara cowok-cowok keren seperti Ariel dan Kian yang bisa membuat ngiri cewek-cewek satu sekolahan. Atau menjadi teman dekat dari Hazel, cowok populer dari salah satu band amatir yang lagi banyak fans ceweknya. Atau mungkin teman berantem dari Felix, salah satu mahasiswa FK yang jadi incaran atau Kevin yang baik hati dan bersedia memberiku tumpangan kemanapun aku membutuhkan walau dia harus membatalkan kencan dari berpuluh-puluh ceweknya.

Hehe, inilah kisahku. Salah satu kisah yang sedikit “hidup” dari kisah membosankan dari buku kehidupanku. Salah satu kisah yang bisa membuatku tersenyum sendiri jika ingat yang lucu, yang membuatku kesal saat ingat yang menjengkelkan, membuatku tahu bagaimana menangis, berteman dan merasakan apa itu arti kehidupan. Dan kisahku bermula di satu tempat, sebuah kafe kecil. Ya….

Amour Café… itu namanya…

*** Amour Café ***

Amour CafeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang