Receipt Ten
“No way,” Kian menolak terang-terangan. Alisnya menaik. Dia menatap Kevin lalu kearahku. Aura pembunuhnya keluar. “Kenapa juga aku harus menggantikan Hazel? Bukannya dia pemegang dapur saat ini? Kalau aku menyentuh dapur tanpa izinnya, dia bisa membunuhku. Lagian dia ada dimana sih? Liburan?”
“Hazel kecelakaan,” jawab Kevin. “Untung saja Alex cepat menyelamatkannya, kalau tidak entah jadi apa dia sekarang.”
“Aku juga menyelamatkannya tahu,” tambah Felix jengkel.
“Oh, jadi karena itu kau bolos, Lex. Harusnya kau bilang juga padaku, biar aku nggak salah paham,” kata Ariel menggaruk-garuk kepalanya. “Aku sempat kaget lihat kamu manjat-manjat tembok sekolah.”
Mereka menatapku keheranan.
“Kita memang tak punya karyawan cewek,” Felix geleng-geleng kepala. Tampak takjub.
“Tapi Hazel kan masih bisa kerja. Aku nggak harus mengambil tempatnya kan? Kenapa kau tidak menyewa orang lain saja untuk sementara waktu? Kalau tidak, tutup saja café ini menunggu kesembuhannya.”
“Menutup café karena masalah sepele begini bisa membuat citra café kita jelek di mata pelanggan tahu. Menyewa orang luar bisa membuat resep kita diciplak orang luar,” kata Kevin lagi. “Pokoknya, kau ambil alih dapur. Aku dan Alex akan membantu sebisa kami. Hazel punya resep seluruh bahan makanan di dapur, kau bisa meniru dari itu.”
Kian tak bisa mengatakan apa-apa lagi. “Mana bisa aku ahli dengan bahan makanan itu hanya dengan satu hari.”
“Aku tak mau tahu soal itu.”
Aku cuma bisa nyengir ketika Kian memelototiku. Dia menarik tanganku. Kami keluar café, dan berhenti di depan toko kue mini Amour. Dia mengecak pinggang. Jengkel sekali.
“Kenapa kau bilang kalau aku bisa masak? Aku tak seahli Hazel tahu.”
“Tapi masakanmu lebih enak dari aku, itu kata Andre.”
Dia semakin memelototiku.
“Kalau lain kali kau mengatakan hal yang tidak-tidak pada mereka mengenai keahlianku yang tak seberapa itu tanpa izinku, akan kubuat kau membayarnya. Kau mengerti?”
Aku mencibir. “Kenapa kau harus menyembunyikan keahlianmu itu?”
“Karena aku tak suka punya keahlian begitu.”
“Sayang sekali, padahal aku suka cowok yang jago masak,” gumamku menyingkirkannya dan masuk ke dalam café. Heran. Cowok-cowok di café ini punya segudang keahlian. Tapi mereka jelas-jelas menolak keahlian itu. Buat apa sih talenta itu kalo nggak bisa digunain?
“Kalian bicarakan apa?” kata Felix di depan pintu masuk. Dia melipat tangannya dan bertanya seperti seorang bos.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amour Cafe
Teen FictionCopyright to SaiRein, 2013 Dilarang mengopy, menjual, atau mengubah, sebagian atau seluruh isi dari cerita ini tanpa seizin Penulis. Jika para Pembaca menemukan hal yang sama, maka telah terjadi campur tangan pihak ketiga tanpa sepengetahuan Penulis...