Receipt Eight

23.8K 1.2K 28
                                    

Receipt Eight

Aku menahan Andre yang mau keluar dari rumah dengan seragam berantakan. Sambil mengomel, aku memperbaiki letak dasinya, menyisir rambutnya dan bersumpah akan menggundulnya jika dia tak segera memotongnya, dan memaksanya melepas antingnya.

“Tapi begini lagi trend,” dia berteriak jengkel. Aku masih memegangi telinganya, mengeluarkan paksa lima anting yang membolongi kuping. “Aw, aw, aw, pelan-pelan dong.”

“Kalau kau tahu sakit, harusnya kau tak melukai telingamu sebanyak ini!” aku menggerutu. “Harusnya kau bersyukur karena aku tak memotongnya. Ingat baik-baik, nanti waktu kau pulang, aku tak mau melihat rambutmu berwarna pirang begitu. Ngerti?”

Andre menggerutu.

“Kau itu anak kelas tiga. Mau tamat nggak sih?”

“Iya, iya, entar gue bagusin,” katanya kesal. Dia menarik tasnya dan gerutuannya terdengar sepanjang jalan. “Pamor gue bisa turun kalo tampang gue begini.”

Aaah, lega melihat Andre berangkat dalam keadaan rapi—walau aku tahu dia akan berubah wujud lagi jika sampai di gerbang sekolahnya—aku kembali bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Perasaanku jadi jauh lebih ringan mendengar keputusan Andre. Aku juga merasa lebih nyaman karena saat ini café sudah kembali beraktifitas. Aku bakal punya penghasilan yang oke.

“Alex!”

Dan mood-ku rusak melihat Kevin melambai di depan pintu rumahku.

“Ayo kuantar ke sekolah.” Katanya antusias.

“Aku bisa pergi sendiri.”

“Kalau kau tak naik ke motorku, aku akan memotong gajimu sebesar lima persen,” katanya dan aku buru-buru naik tanpa bantahan. Dia tersenyum penuh kemenangan dan membawa motornya dengan kecepatan tinggi. Dia memang gila!

“Pelan-pelan!” aku berteriak ngeri. “Polisi bakal menilang kita!”

“Polisi nggak bakal nilang kita kalo kecepatannya cuma segini doang!” dia balas berteriak, lalu tertawa.

Aku mendekapnya dari belakang. Berusaha membuat tanganku tetap berada di tempat yang benar. Kalau tidak aku pasti sudah terpental ke belakang. Aku tak mengerti darah mereka terbuat dari apa sampai-sampai tak takut pada apapun, seperti polisi ataupun dewa kematian.

“Oke. Kita sudah sampai, Tuan Puteri.”

Motor Kevin berhenti di depan gerbang sekolah dan seketika itu juga aku menghela napas lega. Sekarang aku tahu apa alasan kenapa aku tak sudi diantar sama mereka: mereka membawa motor mereka dengan gila. Aku mengetahui hal itu, tapi kenapa aku masih saja mau menurut?

“Bos, kumohon padamu, kalau kau ingin mengantar jemputku lagi, kecepatan motornya tolong dikurangi sedikit,” kataku mengelus dadaku—yang berdegup tidak karuan.

Amour CafeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang