Receipt Two
Adriel memelukku dari belakang ketika bel pelajaran hari ini berakhir. Aku terkejut. “Lex, temenin gue shopping, ya.”
Shopping? Otakku berpikir cepat. Itu berarti menghabiskan waktuku sekitar dua sampai lima jam di mall. Keliling-keliling nggak jelas sementara aku nggak bisa membeli apapun dan harus membawa tas belanjaan Adriel dan mengikutinya dari belakang seperti suruhan yang setia. Nggak deh. Terima kasih.
“Sori, aku harus kerja,” aku mengarang alasan.
Dia mengerutkan dahi. “Elo udah dapat kerja? Dimana? Kok elo nggak cerita-cerita ke gue sih?”
Aku bohong. Tentu saja. “Yah… aku mau coba dulu kerja hari ini, kalo cocok ya lanjut, tapi kalo nggak…” aku mengangkat bahu. “Sori banget ya, aku benar-benar harus kerja nih. Udah telat banget.”
Aku buru-buru bangkit, mengambil tasku dan keluar kelas. Sejujurnya aku merasa bersalah sekali pada Adriel. Dia orang yang baik. Tapi hati kecilku berkata kalau sebaiknya aku menjaga jarak dengannya saat ini. Aku sudah terlalu sering mendengar cerita-cerita temanku yang tidak senang melihatku berteman dengan Adriel dan berusaha keras tidak mendengarkan mereka. Namun aku harus mengakui kalau aku tidak setangguh itu.
Adriel seorang putri yang dilahirkan dari keluarga kaya raya, berwajah cantik dan juga cerdas. Dia lebih cocok berteman dengan orang yang setara dengannya, bukannya denganku yang setiap hari bekerja untuk keluargaku yang miskin dan berantakan. Aku tahu kalau aku tidak boleh menyalahkan diriku sendiri karena itu. Hidupku benar-benar sangat menyebalkan. Aku ingin sekali menjadi orang lain, merasakan apa itu kebebasan dan rasa nyaman.
Itu tidak mungkin! Aku membatin jengkel pada diriku sendiri. Aku sudah lahir menjadi seperti ini. Menjadi seorang Alexie Selena.
Seharusnya aku tidak perlu menyesal…
“Haah…”
Napasku terasa berat dan kakiku sudah melewati gerbang sekolah. Kulirik cowok-cowok yang bergerombol sambil merokok tidak jelas. Bagaimana mereka bisa menghirup rokok di depan gerbang sekolah begitu? Pantas saja sekolah ini tak pernah mendapat peringkat bagus di daerah ini. Melihat cowok-cowok itu mengingatkanku pada adikku yang menjengkelkan.
Din Din
Jantungku nyaris saja copot. Aku menyingkir dari gerbang, membiarkan motor milik Ariel keluar terlebih dahulu. Ariel sempat melirik padaku, mungkin dia berpikir kalau aku cewek menjengkelkan, lalu berlalu pergi tanpa berkata apa-apa. Sudah kuduga kalau dia akan segera melupakan wajahku walau kemarin aku sempat bicara dengannya.
Semangatlah, Alex. Ingat kalau hari ini ada sesuatu yang penting yang harus kau lakukan! Kasihan sekali rasanya jika hanya dirimu yang bisa menyemangati diri sendiri. Tapi memang begitulah diriku. Aku biasa mandiri dan paling tidak nyaman jika diperhatikan. Aku biasa memperlakukan diriku dalam keadaan sulit sehingga orang-orang sulit masuk kedalam kehidupanku bahkan sulit sekali memahami diriku. Aku malah heran kenapa Adriel bisa bertahan berteman denganku yang punya sifat aneh seperti ini.
Aku berencana melihat lokasi Amour Café. Iklan itu tidak membuatku tertarik untuk bekerja, tapi justru membuatku penasaran. Biasanya iklan restoran atau akan lebih kreatif seperti membuat gambar makanan atau minuman sehingga membuat orang tertarik dan memperjelas kalau ada sesuatu pada iklan itu. Bukannya tulisan hitam di atas kertas putih.
Namun hati kecilku berkata kalau ada yang tidak beres pada café itu. Kubuka kembali ponselku dan membaca alamat café dengan cepat. Aku sudah cukup berkelana sesuai dengan alamat yang dimaksud, tapi kenapa aku belum juga menemukan cafenya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Amour Cafe
Teen FictionCopyright to SaiRein, 2013 Dilarang mengopy, menjual, atau mengubah, sebagian atau seluruh isi dari cerita ini tanpa seizin Penulis. Jika para Pembaca menemukan hal yang sama, maka telah terjadi campur tangan pihak ketiga tanpa sepengetahuan Penulis...