Receipt Eleven
From: Karel
Alex, aku mau bicara denganmu hari ini. Jangan kabur.
Perasaanku tak tenang ketika pesan itu masuk. Jadi disinilah aku sekarang, menunggu mobil Karel di persimpangan jalan. Matahari bersinar dengan sangat teriknya dan tak ada satupun siswa yang berkeliaran di tempat sunyi begini. Dua menit kemudian mobil Karel nongol dan berhenti di depanku. Dia menyuruhku naik. Aku cuma bisa menurut.
“Aku harus kerja sore ini,” aku sengaja mengucapkan itu. Saat ini aku belum mau dipecat.
“Kenapa kau harus bekerja di café itu?” katanya jengkel. “Kau pikir kau tak tahu itu café apa. Amour café. Café cinta. Sengaja bikin pakai bahasa Prancis. Apa-apaan sih mereka? Kau ini kan cewek. Harusnya kau duduk diam saja membantu Tante bukannya berkeliaran sampai malam. Pantas saja aku menemukanmu kemarin malam-malam. Kau baru pulang kerja ternyata.”
Dia memulai omelannya dalam sekali tarikan napas.
“Café itu café normal kok. Aku cuma jadi pelayan disana.”
Karel menekan klakson, menyuruh mobil di depan cepat jalan. “Kau jadi pelayan cowok kan disana? Kau pikir aku tak tahu kalau disana cuma menerima karyawan cowok?”
Aku cuma bisa nyengir.
“Apa kau tahu orang-orang seperti apa yang berkeliaran disampingmu itu?” dia menatapku, tampak frustasi.
Aku menggeleng perlahan. Aku belum mengenal mereka lebih lama, tapi aku tahu kalau mereka teman yang baik. Orang-orang baik. Seperti itulah perkiraanku.
Karel mengambil napas. Menahan emosi. “Kevin, playboy yang paling berbahaya. Pacarnya lebih dari satu. Dia calon direktur sebuah perusahaan besar yang sekarang bekerja sama dengan pemerintah. Berurusan dengannya akan menambah daftar permasalahan saja.
Lalu Felix, dia anak dari salah satu direktur yang memegang sebuah rumah sakit besar dan ditakdirkan menjadi seorang Dokter. Dia memang keren tapi sifatnya jelek. Kalau bermasalah dengannya, Ayahnya yang tak bisa membedakan mana yang baik dan benar itu akan membahayakan dirimu bahkan bisa membuat namamu di black list di seluruh penjuru Indonesia.
Kemudian yang terakhir adalah Hazel. Dia yang termuda dari antara mereka bertiga—”
Dahiku mengerut. “Apa? Hazel?”
“Ya. Hazel.”
“Bukannya dia mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi?” kataku lagi. Bukannya Felix yang paling muda?
“Bukan. Hazel yang paling bungsu dari ketiga sepupu itu. Usianya masih tujuh belas tahun. Dia lompat empat kelas karena otaknya yang begitu pintar. Sebenarnya, dialah calon pemegang perusahaan, tapi karena dia masih muda dan emosinya tak begitu stabil jadi dia menjadi pewaris kedua.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Amour Cafe
Teen FictionCopyright to SaiRein, 2013 Dilarang mengopy, menjual, atau mengubah, sebagian atau seluruh isi dari cerita ini tanpa seizin Penulis. Jika para Pembaca menemukan hal yang sama, maka telah terjadi campur tangan pihak ketiga tanpa sepengetahuan Penulis...