Receipt One
Aku menghela napas, berusaha berkonsentrasi pada penjelasan panjang logaritma yang membuat kepalaku justru berputar-putar. Kemarin aku kurang tidur dan banyak masalah rumah yang harus kuselesaikan dan adik cowokku yang menjengkelkan—yang lagi masa pubertas dan lebih suka pulang pagi atau tinggal di rumah temannya tanpa kabar—buat ulah kemarin malam.
Kubalik catatanku untuk memastikan bahwa semua yang ada di papan tulis sudah kucatat semuanya. Setidaknya, walau aku tidak mengerti, aku masih bisa mengulang pelajaranku nanti di rumah, walau aku tak tahu kapan. Catatan ini pasti dibutuhkan sehari sebelum ujian. Itu prinsip yang positif. Pantas diacungi jempol.
“Alex, seharian ini gue lihat elo nggak semangat,” teman terbaikku sejak masuk ke sekolah ini namanya Adriel. Cewek cantik yang punya tubuh aduhai dengan wajah cantik, kulit mulus, wajah kinclong, rambut sehalus sutra, pintar, anak orang kaya, baik hati dan bla-bla-bla lainnya, yang membuat cowok-cowok naksir padanya. “Kenapa? Kerja lagi?”
Aku menguap lebar dan dia tersenyum.
“Ayo makan ke kantin. Gue yang traktir,” dia menarik tanganku dan memaksaku untuk bangkit dari tempat duduk.
Seperti yang kalian tahu, jika berjalan dengannya aku jadi kelihatan seperti upik abu. Nggak kelihatan sama sekali. Disaat yang lain sibuk menatapnya dengan penuh kekaguman, aku juga dicela di belakang. Kok bisa ya, cewek biasa sepertiku ini dapat perhatian dari cewek secantik Adriel. Padahal Adriel ditawari buat masuk gengnya senior yang dikhususkan untuk cewek-cewek cantik namun Adriel lebih memilihku.
“Apa Pengeranmu hari ini datang lagi ke kantin?” bisikku ketika pesanan bakso kami datang. Wajah Adriel merah padam. Dua bulan yang lalu, Adriel cerita padaku kalau dia naksir sama cowok namun dia nggak mau ngasih tahu siapa cowok yang beruntung itu. Belakangan aku baru tahu kalau ternyata Adriel naksir sama Ariel.
“Belum,” bisik Adriel. Dia memperbaiki rambut panjangnya.
“Tuh dia,” aku menunjuk ke pintu masuk dimana Ariel baru saja masuk dengan beberapa teman-teman Osisnya.
Adriel menggigit bibir dan menoleh ke belakang sambil sembunyi-sembunyi lalu tersenyum bahagia. “Hari ini dia cakep banget.”
Aku harus menjawab apa dengan pernyataan barusan? Sejujurnya, aku merasa jijik. Yeah, memang sih Ariel itu cakep. Dia punya rambut hitam yang rapi, wajahnya juga cocok buat tampil di majalah, tubuhnya tinggi dan oke dan dia juga kelihatan seperti cowok baik-baik. Tapi Ariel bukan seleraku. Idih… amit-amit. Rasanya aku jadi melihat Papaku kalau melihat orang seperti Ariel.
Terlalu dewasa. Tidak, bukan itu. Terlalu luar biasa. Bersanding dengannya hanya akan membuat cewek-cewek sepertiku sakit hati. Yeah, siapa sih yang rela membiarkan seorang Pangeran jalan dengan babu? Udah pasti tipe seperti Adriel-lah yang pantas bersanding dengan Ariel.
Mereka sama-sama cakep. Sama-sama kaya. Sama-sama baik. Sama-sama pintar. Sama-sama dikagumi. Sama-sama…
Aku memakan baksoku, sama sekali tidak ingin melanjutkan pemikiranku yang hanya akan membuatku sakit hati. Membayangkan saat fans-nya mengerjaiku jika berani dekat dengannya saja sudah membuatku merinding. Hi….
“Apa menurut lo dia sudah punya pacar? Dia kan populer, pasti banyak cewek yang naksir sama dia,” kata Adriel. Entah sudah keberapa kalinya dia bertanya hal yang sama setiap kali kami mengintip Ariel. Dan seperti yang sudah kukatakan sampai tenggorokanku kering aku menjawab.
“Adriel, nggak ada seorang pun di sekolah ini yang bisa menandingi kecantikanmu. Harusnya kau tahu itu. Aku yakin kau hanya perlu berkenalan dengannya dan cinta akan berjalan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Amour Cafe
Teen FictionCopyright to SaiRein, 2013 Dilarang mengopy, menjual, atau mengubah, sebagian atau seluruh isi dari cerita ini tanpa seizin Penulis. Jika para Pembaca menemukan hal yang sama, maka telah terjadi campur tangan pihak ketiga tanpa sepengetahuan Penulis...