Di bawah rintiknya hujan, Yuan bertemu dengan seseorang yang membuat seluruh perhatiannya tertuju pada gadis itu. Tentang segala sendu dan pahitnya kehidupan di buana fana, mempersatukan mereka untuk bertahan dari ombak yang menerjang.
❝Titik sendu...
Gemuruh petir terdengar saling bersahutan. Kilatan-kilatannya membuat mata sakit karena saking terangnya cahaya itu.
Sejak tadi hujan deras belum berhenti, seakan-akan ikut sedih melihat salah satu penduduk bumi yang tengah berjalan memasuki gedung tua dengan langkah gontai. Isak tangisnya pun terdengar mengiringi setiap langkah.
Di saat semua orang memilih masuk ke kamar dan bergelung selimut karena cuaca yang cukup dingin akibat hujan deras, ia lebih memilih untuk menahan rasa dingin di luar rumah.
Dingin pun terasa tak berarti dibandingkan dengan rasa sesak yang membumbung di dalam atma dan jiwa. Keinginan yang amat besar untuk mengakhiri hidup semakin menjadi-jadi. Ia tidak tahan dengan segala hal yang terjadi di dalam hidupnya.
Langkah kakinya di muka buana berhenti saat berada di lantai paling atas.
Lumut-lumut yang hampir menjamah seluruh tempat membuat lantai itu menjadi licin saat ditimpa air.
Dengan bertelanjang kaki. Orang itu melanjutkan langkahnya tanpa peduli terpeleset.
Kilatan-kilatan petir kembali terlihat dan membuat orang itu mengerjap kaget saat melihatnya. Telinganya berdengung karena suara petir yang menggelegar.
Tanpa disangka olehnya ada seorang anak yang beranjak menjadi remaja berusia 12 tahun di bawah sana, menatapnya dengan pupil mata yang bergetar karena menahan bulir air mata yang sebentar lagi akan mengalir dengan deras. Ia berteriak kencang memanggil nama gadis yang berada di atas gedung. Tapi percuma saja, suaranya kalah dengan suara rintik sendu dan gemuruh bumantara yang baswara.
Kaki laki-laki itu melangkah lebar. Tubuhnya yang kecil memudahkan dirinya melewati kayu-kayu yang berserakan di luar gedung.
Ia meringis kecil. Dadanya sakit sekali saat melihat orang yang dikenalnya berada di atas gedung sana dengan wajah yang pucat pasi.
Prasangka-prasangka buruk menghujani isi kepalanya. Ia takut. Benar-benar takut jika pikiran negatifnya menjadi kenyataan.
Beberapa langkah lagi ia akan sampai di atas gedung.
Laki-laki itu berlari dengan kaki yang melangkah lebar sambil meneriaki sebuah nama. Teriakannya terdengar sangat parau setelah melihat orang yang diperhatikannya dari bawah gedung, kini sudah berdiri di atas tembok pembatas.
Dengan langkah yang sangat cepat, tangan laki-laki itu terulur untuk menggapai pergelangan tangan orang di hadapannya. "Ayo turun!" ucapnya dengan suara yang bergetar.
Tanpa membalas uluran laki-laki di belakangnya, kedua tangan orang itu mengepal kuat-kuat sebelum akhirnya melemas karena pasrah. Seulas senyum tipis yang menandakan salam perpisahan ia layangkan pada laki-laki di belakangnya yang diketahui sebagai adik kandungnya.
"Selamat tinggal," ucapnya dengan suara yang lirih.
Dalam hitungan detik orang itu sudah meluncur jatuh ke bawah. Tak ada yang tersisa dari tubuh orang itu selain ucapan selamat tinggal dan sebuah buku berukuran kecil yang sudah basah karena terguyur air hujan.
Teriakan kencang yang disusul dengan isak tangis dari laki-laki itu, mengalahkan suara hujan dan gemuruh petir, suaranya menggema sampai beberapa meter.
Sekujur tubuhnya lemas setelah melihat peristiwa yang sesuai dengan pikiran negatifnya benar-benar terjadi. Ia berlutut pada lantai gedung yang digenangi oleh air hujan karena saking lemasnya kedua kaki untuk berpijak.
Di bawah sana, genangan air bercampur darah terlihat jelas dari atas gedung. Darah tersebut mengalir mengikuti arus air hujan dan berakhir di selokan.
Belenggu lara dan nestapa yang mengikat telah gata. Hanya satu hal yang tersisa, seluruh sendu yang temaram dan memorinya terkenang bagi orang terkasih yang ditinggalkan.
● • .
-Titik Sendu-
❝Titik sendu. Kita dipertemukan pada titik yang sama namun dengan kisah yang berbeda.❞