30. Kita yang Takkan Usai

512 78 11
                                    

Ada satu hal menyakitkan tentang dunia ini, salah satu di antara banyaknya hal menyakitkan lainnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada satu hal menyakitkan tentang dunia ini, salah satu di antara banyaknya hal menyakitkan lainnya. Hal itu adalah merelakan.

Siapa sangka merelakan akan menjadi bagian menyedihkan sekaligus menyakitkan dari kehidupan sang tokoh yang menjalani peran di dalam kehidupannya? Tentang pahitnya dunia, merelakan merupakan hal yang berbeda. Merelakan tak semudah dikata. Merelakan bukan berarti pergi begitu saja, tetapi tentang bagaimana mengingkhlaskan.

Prancis dan Indonesia adalah dua negara yang amat berbeda. Dimulai dari segi geografis dan juga para manusia di dalamnya. Begitu pula dengan Paris dan Jakarta.

Beberapa tahun dilewati. Tapi tak ada yang seindah tentang kita, begitu kata Yuan di setiap waktu senggang yang mereka lewati.

Malam tak berarti apa-apa seperti hari sebelumnya. Sore tidak lagi menghapus luka. Hujan tidak lagi ditunggu sebagaimana ia pernah menghapus luka—berlari di hujan yang pernah menorehkan luka, tetapi ia juga menghapus luka yang pernah ada.

"Hari ini aku punya teman baru." Azura tersenyum lebar. Wajahnya terpatri jelas di layar laptop Yuan.

Yuan menatap gadis itu, tangan kanannya menjadi pangkuan dagu dan kepalanya. Laki-laki itu tertawa. Andai berada di dekat gadisnya itu, ia pasti akan memberikan selamat secara langsung, mengusak kepala Azura seperti apa yang sering Yuan lakukan. Sudah satu setengah semester Yuan tak bersua dengan Azura, ia benar-benar rindu.

"Gimana temannya? Baik gak?" tanya Yuan dengan tatapan yang terfokus pada satu titik walaupun Azura sejak tadi bercerita di kamar apartemennya secara bolak-balik.

Azura mendekat ke arah laptop, membuat wajahnya mendominasi layar Yuan. Gadis itu mengangguk takzim dengan gumaman. "Mereka baik, friendly banget."

Yuan terkekeh. "Ini mukanya kenapa deket banget?"

"Aku mau ngomong serius, makanya deket-deket," jawab Azura dengan berbisik.

Lagi-lagi Yuan tertawa. Tidak bisakah Azura berhenti menggemaskan? Kalau saja jarak Paris dan Jakarta sedekat rumah Yuan dengan Azura, pasti Yuan sudah datang menghampiri Azura untuk sekedar mencubit pipinya yang menurut Yuan cukup gembul.

"Kamu udah hampir satu tahun belajar di kampus, pasti ada perempuan cantik, baik, ngajak kamu temenan, aktif organisasi, aktif di kelas, pinter, gak cengeng, kan?"

Yuan mengangguk. Ia tahu arah pembicaraan ke mana, tapi ia memilih mendengar ucapan Azura karena menurutnya penuturan gadis itu terdengar sangat lucu.

"Ada yang kamu suka?" tanya Azura lagi dengan tatapan menyelidik.

Yuan menahan tawa, lantas mengangguk. "Ada."

"Siapa?" Wajah Azura berubah menjadi masam. Ia mendudukkan bokongnya pada kursi belajar, menjauh dari layar monitor PC-nya.

Yuan tidak menjawab, ia malah memperhatikan wajah masam Azura yang terasa mengocok perutnya karena terkesan terlalu konyol.

"Kalau kamu suka sama dia pasti wajar aja, ya? Aku jauh, kamu pasti suka sama yang lebih deket. Biar bisa jalan bareng, makan bareng, nonton bioskop bareng, semuanya bareng-bareng. Apalagi kalau dia cantik, pasti kamu suka ngeliatin dia diem-diem, kan? Tapi aku gak suka kalau kamu begitu ... eh bukan kalau lagi ya? Tapi emang beneran suka?" Azura tertawa hambar, menertawai dirinya sendiri.

Titik Sendu || YOSHI✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang