💍-12

1.3K 228 46
                                    

part ini cukup panjang dan maaf kalo boring ( •́ω•̩̥̀ )



"Terimakasih sudah datang dan turut berbelasungkawa."

Gue dan Kak Minghao menyalami tamu-tamu yang kebanyakan adalah karyawan serta para petinggi dari perusahaan-perusahaan terkenal yang merupakan kerabat Ayah. Proses pemakaman berlangsung sekitar dua jam di pagi hari ini. Semuanya berjalan dengan lancar.

Dari sini gue menyadari bahwa ternyata banyak sekali yang merasa kehilangan sosok Ayah. Gue merasa kalau beliau nggak cuma baik kepada keluarga, tetapi juga baik kepada rekan maupun bawahannya. Sudah sepatutnya orang seperti Ayah mendapat penghormatan terakhir dari orang-orang penting sebanyak ini.

"Aku mau samperin Mas Sicheng dulu ya, kak. Nanti aku kesini lagi," ujar gue seraya meninggalkan Kak Minghao. Ya, gue memutuskan untuk tidak lagi menggunakan gaya bicara formal ketika ngobrol dengannya. Ini atas permintaan Kak Minghao sendiri. Agak lucu sebenarnya, mengingat gue sama Mas Sicheng aja masih menggunakan sebutan 'saya-kamu'.


"Mas, sudah selesai?" Gue sedikit membungkuk begitu tiba di sebelah Mas Sicheng yang masih meratapi batu nisan Ayah. Sudah enggak ada siapapun di makam kecuali dirinya seorang.

Melihat kehadiran gue, dia langsung bangkit dan merapikan jas hitam yang dipakainya.

"Ya," responnya singkat. "Dimana Papa dan kakakmu?"

"Oh, Papa sama Kak Kun sudah di gerbang depan, Mas."

Mas Sicheng mengangguk. "Oke. Ayo kita kesana. Setelah itu pulang."

Gue berjalan mengikuti Mas Sicheng untuk menghampiri Papa dan Kak Kun yang menunggu kami di depan. Suami gue ini kelihatan begitu lelah dan area matanya membengkak. Gue nggak tega dan ingin cepat ke rumah supaya dia bisa membersihkan diri dan istirahat. Pastilah mental maupun fisiknya nggak baik-baik saja sekarang ini.

Tiba-tiba sekelibat ingatan tentang kejadian kemarin muncul di pikiran gue. Kak Minghao sudah menceritakan beberapa hal pada gue mengenai Mas Sicheng, mulai dari masa lalu hingga gangguan mental yang pernah diidapnya dari kecil. Walaupun Kak Minghao enggan menceritakan semuanya secara detail, namun gue bisa memahami sebagian besar penjelasannya. Entahlah. Sedikit sedih rasanya untuk menerima kenyataan kalau Mas Sicheng seperti itu.

"Papa pulang duluan, ya. Sekali lagi turut berdukacita sedalam-dalamnya atas kepergian ayahmu, Sicheng. Rasanya baru aja kemarin kita besuk Ayahmu bersama-sama. Kita semua merasa kehilangan," Papa mengusap lembut punggung Mas Sicheng sembari menatapnya iba.

Diam-diam gue tersenyum miris. Ingin juga melakukan hal yang sama seperti yang Papa lakukan pada Mas Sicheng.



👫


Pukul 11.53 siang, gue dan Mas Sicheng sudah tiba di kediaman kami. Suasana sendu masih terasa sekali. Mas Sicheng gak begitu banyak bicara sejak dalam perjalanan pulang. Begitu sampai rumah, kami memutuskan untuk membersihkan diri masing-masing. Mungkin sesudah ini, gue akan memasakkan sesuatu untuk kudapan makan siang.

Gue mulai menghidupkan shower dan membasuh tubuh gue sendiri. Di dalam kepala gue, ada begitu banyak hal yang ingin gue ketahui tentang Mas Sicheng. Gue nggak yakin kapan, namun gue butuh mendengar fakta tentangnya dari dirinya sendiri. Juga, sementara ini gue harus bersikap lebih hati-hati ke depannya. Gue nggak mau Mas Sicheng semakin sakit akibat kecerobohan gue sendiri.

Yah, sebutlah gue mulai merasa sayang pada suami gue itu.


Gue keluar dari bilik kamar mandi yang berada di kamar gue dengan tubuh terbalut bathrobe. Setelahnya gue mengeringkan rambut, memakai ini-itu pada wajah, dan mengenakan pakaian rumahan yang menurut gue nyaman di badan.

my anti-skinship husband ; winwinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang