6. Malam (bukan) Pertama

55 9 0
                                    


Usai pesta pernikahan Sebastian dan Kanaya, mereka langsung mengadakan acara makan malam bersama di rumah orang tuanya Sebastian. Kedua keluarga itu tampak sangat bahagia. Acara pesta berlangsung dengan lancar tanpa ada hal apapun.

"Baik-baik lo sama adek gue," ucap Keenan di tengah makannya. Alhasil Sebastian hampir tersedak.

Gendis memberi isyarat pada Kanaya agar Sebastian di kasih air minum dan wanita itu langsung mengambil gelas yang berada di dekatnya lalu menyodorkannya pada Sebastian.

"Karena kalian sudah jadi pasangan suami istri jelas nggak sama lagi saat kalian jadi teman. Ada tanggung jawab yang harus dijalani," ucap Satria.

"Benar kata ayahmu, kalian jangan bertengkar terus. Jika ada masalah omongin baik-baik," sahut Gendis menatap keduanya bergantian.

Sebastian dan Kanaya hanya bisa mengangguk patuh.

"Kalo Naya butuh apa-apa bilang sama mama, ya," sambung Maya.

"Iya, Tan, eh, Mama."

Maya terkekeh melihat Kanaya yang masih canggung dengan panggilannya. Selama dua puluh tiga tahun gadis itu selalu memanggilnya dengan sebutan Tante.

Setelah semuanya menyudahi makan malamnya acara berlanjut pada obrolan santai. Sebastian dan Kanaya sudah seperti tersangka saat itu. Bedanya mereka bukan diadili tapi diberi banyak nasehat oleh kedua orang tua mereka hingga keluarga Kanaya pamit.

"Kalo dia kasar sama lo bilang gue," ucap Keenan menunjuk Sebastian yang langsung mendapat pukulan dari Gendis.

"Apaan deh, kak Keenan. Lebay banget!"

"Kami pulang ya, Nak." Gendis memeluk Kanaya erat.

"Bun, Naya cuma pindah ke rumah Sebastian loh, bukannya mau berangkat ke luar negeri. Lagian rumah tinggal langkah aja," ucap Kanaya heran.

"Udah Bun, ayok kita pulang, kasian anaknya mau istirahat," ucap Satria merangkul bahu Gendis.

Akhirnya keluarga Kanaya pulang dan menyisakan empat makhluk di rumah itu.

"Kalian istirahat ya," ucap Maya sembari mengelus bahu Kanaya.

Kemudian Agus dan Maya meninggalkan mereka berdua untuk menuju ke kamar masing-masing.

Kanaya melihat Sebastian yang merenggangkan kedua tangannya ke atas.

"Akhirnya gue bisa istirahat juga!" Katanya sambil melirik ke arah Kanaya.

"Ke kamar gue ayok!"

"Ngapain tuh mata kedip-kedip, kelilipan lo?"

"Iya, tadi di tiup sama setan," ucap Sebastian asal lalu melenggang masuk ke dalam kamar yang diikuti oleh Kanaya.

Sebenarnya Kanaya sudah sering keluar masuk ke kamar Sebastian hanya kali ini suasana kamar itu sangat berbeda apalagi ada hiasan bunga di tengah kasurnya.

"Lo yang dekor?" Tanya Kanaya takjub.

"Ya kali, Nay. Apa gunanya WO."

Benar juga, Kanaya mengapa jadi pelupa begini.

Naya duduk di tepi kasur itu sambil mengambil salah satu kelopak bunga. Bau harum dari bunga membuat pikirannya seketika tenang.

"Gimana perasaan lo sekarang?" Tanya Sebastian yang ikut duduk menghadap ke arah Kanaya.

"Lega dan bahagia," jawab Kanaya sambil tersenyum.

Seketika Sebastian tertawa membuat Kanaya heran.

"Gila ya lo?"

Sebastian berhenti tertawa lalu menatap Kanaya lekat.

"Gue bahagia banget, Nay. Nggak nyangka kita bisa nikah kayak gini. Berasa mimpi." Seketika Kanaya menampar Sebastian.

"Kok lo nampar gue sih!"

"Sakit, kan? Berarti lo lagi nggak mimpi."

Sebastian mau mengumpat tapi sadar sekarang Kanaya sudah jadi istrinya. Dia harus bisa membiasakan diri.

"Sakit loh, Nay," rengek Sebastian cemberut.

"Yaudah gue minta maaf."

"Gitu doang?"

"Nah, trus gue harus apa?"

"Cium?"

Seketika wajah Kanaya sudah seperti kepiting rebus. Tidak biasanya Sebastian bersikap manja seperti itu.

"Yaudah." Kanaya mendekatkan bibirnya pada pipi Sebastian, tapi belum sampai mencium pemuda itu malah menangkup wajah Kanaya dengan tangannya.

"Suka banget ya lo sama gue?" Ejeknya. Seketika Kanaya langsung memukul Sebastian dengan bantal. Dia kesal bercampur malu.

"Tian bego! Dodol! Uh!" Umpatnya. Sementara Sebastian tertawa puas melihat kemarahan Kanaya.

"Ampun, Nay! Nggak lagi deh." Sebastian berlari menjauhi Kanaya yang terus memukulnya.

Kejar-kejaran antar suami istri itu akhirnya berhenti kala keduanya kehabisan nafas. Sebastian membaringkan tubuhnya pada kasur lalu menepuk tempat di sebelahnya.

"Udahan dulu ya, gue capek," ucap Sebastian masih dengan mengatur nafas. Kanaya pun berbaring di sampingnya.

"Lo jahat banget!" Kanaya sempat mencubit pinggang Sebastian membuat pemuda itu meringis.

"Hehehe, gue minta maaf ya, lagian lo nampar gue."

Kemudian suasana menjadi hening hanya terdengar dentingan jam dinding.

"Kita istirahat ya, gue capek banget hari ini, baru kali ini nahan senyum selama sepuluh jam," ucap Sebastian pada Kanaya yang ternyata sudah tertidur pulas di sampingnya.

Sebastian tersenyum sambil merapikan anak rambut Kanaya lalu membawanya ke dalam dekapannya.

"Hari ini adalah hari luar biasa buat gue, Nay. Selamat tidur dan mimpi indah," ucapnya lalu mengecup puncak kepala Kanaya.

~~~

Teman HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang