Tak terasa umur pernikahan Sebastian dan Kanaya sudah berjalan sebulan dan hari-hari yang mereka lalui dengan menyandang status baru mereka lewati seperti biasa. Tidak ada yang berubah, hanya sekarang Kanaya punya partner tidur yang kadang mengusiknya kala Sebastian sudah mengorok.
Di saat pernikahan yang seusia mereka, biasanya pasangan baru akan saling memberikan seluruh cinta dengan hangat. Namun, bagi Kanaya pernikahannya dengan Sebastian tidak maju sedikit pun, apalagi wanita itu belum merasakan cinta pada pemuda itu. Dulu, ia yakin dengan menikahi Sebastian tanpa adanya rasa cinta bukanlah suatu hal yang penting, tapi setelah ia jalani dengan rasa hambar sepertinya ia mulai bosan.
"Sedang memikirkan apa?" Suara berat Sebastian menyadarkan Kanaya yang tengah melamun meski acara televisi sedang menampilkan gosip terhangat.
Pemuda itu mengambil tempat di sebelah Kanaya lalu menawarkan sekaleng kerupuk buatan mamanya hingga meletakkan kaleng kerupuk itu di atas meja kala Kanaya menolaknya.
"Kenapa sih? Ada masalah?" Sepertinya Sebastian agak khawatir dengan Kanaya. Sejak pulang dari rumah orang tuanya semalam, gadis itu tiba-tiba jadi pendiam.
"Kalo gue cerita, janji lo nggak bakal marah, ya."
Sebastian berkedip cepat. Biasanya kalau Kanaya sudah berkata seperti itu, pastilah sesuatu yang ingin disampaikan adalah hal yang serius.
"Gue janji nggak bakal marah." Sebastian memperbaiki posisi duduknya untuk berhadapan dengan Kanaya. Sebelumnya ia mematikan televisi agar mereka lebih fokus mengobrol.
Sebastian masih sabar menunggu kala Kanaya tak lantas berbicara. Gadis itu malah berkali-kali menghembuskan nafasnya.
"Lo jawab jujur. Apa pernikahan kita ini bikin lo bahagia?" Akhirnya setelah lama ia merangkai kata-kata dalam benaknya, Kanaya pun bisa mengeluarkan kata yang terlintas begitu saja.
Sebastian mengangguk tanpa ragu.
"Gue bahagia, Nay. Bahkan sebelum ijab kabul gue ucapkan." Sebastian tersenyum lalu menelisik menatap mata Kanaya.
"Lo nggak bahagia?"
"Gue bahagia, cuma...." Mendadak Kanaya bingung bagaimana cara menyampaikan pada Sebastian. Ada rasa tak tega saat melihat pemuda itu kecewa.
"Lo belum cinta sama gue?" Tebak Sebastian membuat Kanaya sedikit kaget. Apa sikapnya terlihat jelas sekali?
Seketika Sebastian terkekeh.
"Lo nggak ingat? Malam saat kita memutuskan untuk menikah kita buat prinsip, kalo pernikahan kita nggak penting adanya rasa cinta. Apalagi kita sahabatan udah lama. Udah kenal satu sama lain. Kita hanya perlu rasa nyaman dan menghargai."
Kanaya tidak lupa. Ia bahkan sangat ingat sekali hingga kadang mengusiknya. Dari itulah ia mulai memahami, bahwa pernikahan tidak hanya butuh rasa nyaman dan menghargai, tapi hadirnya cinta juga penting untuk mengukuhkan ikatan batin. Dan Kanaya rasa belum bisa memposisikan dirinya menjadi seorang istri yang sangat mengerti. Ia takut suatu saat bisa menyakiti Sebastian.
"Gue nggak cinta sama lo. Apa itu nggak penting?"
Sebastian terdiam sesaat sebelum seulas senyuman tulus ia berikan pada Kanaya agar gadis itu tidak terus menerus merasa bimbang sendiri.
"Kita menikah memang bukan atas dasar cinta, Nay. Dan gue juga nggak nuntut lo buat cintai gue."
"Tapi itu bakal nyakitin lo." Potongnya cepat.
Sebastian kembali tertawa membuat Kanaya kesal sendiri. Pemuda itu sudah sekali diajak serius.
"Emang lo yakin bakal nyakitin gue? Gua aja nggak pernah cinta sama lo."
Sebastian menarik nafas sebentar sebelum kembali berkata, "kita bikin perjanjian aja. Kalo selama setahun ini belum ada yang punya perasaan ke salah satunya, berarti di saat itulah waktu kita untuk berpisah."Kanaya sempat lama terdiam. Otaknya kembali memikirkan hal-hal yang mungkin terjadi apabila mereka bercerai. Mungkin bisa mengecewakan banyak orang, terlebih hubungan kedua orang tua mereka, tapi jika dipaksakan juga bukanlah sesuatu yang baik.
"Gue rasa memang agak sulit, tapi apa salahnya mencoba. Gue nggak mau nantinya menyesal."
Lantas Sebastian menyodorkan tangannya pada Kanaya membuat gadis itu bertanya ragu.
"Demi kenyamanan perasaan masing-masing."
Tanpa pikir panjang Kanaya langsung menjabat tangan Sebastian. Ia hanya berharap keputusannya kali ini tidak salah.
"Gue boleh bertanya ke lo?" Kata Sebastian. Lantas Kanaya menepuk pelan dada pemuda itu. Suasana kembali normal. Tadinya rasa sesak begitu kentara.
"Sejak kapan lo mau tanya ke gue harus permisi dulu?"
Sebastian memutar bola matanya. Tadi ia mengira Kanaya masih dalam mode serius. Nyatanya gadis itu sudah kembali menyebalkan.
"Lo masih cinta sama Arya?"
Kanaya malah menghendikkan bahu. Sejujurnya ia masih ragu akan perasaannya.
"Apaan tuh? Jawaban lo nggak jelas!"
Kanaya terkikik hingga ia meraih kaleng kerupuk dan memakan isinya yang tinggal setengah.
"Gue udah nggak cinta sama si playboy itu. Mungkin karna gue udah beberapa kali jatuh cinta, tapi pada akhirnya kecewa. Malah sekarang gue nggak bisa jatuh cinta lagi."
Sebastian menggelengkan kepalanya lucu.
"Lo itu bukan nggak bisa jatuh cinta. Tapi belum ketemu seseorang yang bikin jantung lo kembali berdebar."
Entahlah, bisa jadi apa yang dikatakan Sebastian benar. Ia hanya belum menemukan lagi sosok yang mampu meluluhkan hatinya.
"Kalo lo? Masih cinta nggak sama Putri?"
"Masih," jawab Sebastian cepat tanpa ragu membuat Kanaya mendelik tak percaya.
"Sialan lo! Gue udah mati-matian cari kata yang tepat buat cerita perihal perasaan gue. Lo ternyata masih menyimpan cinta sama wanita lain." Kanaya sewot sendiri. Belum sempat Sebastian tertawa, pemuda itu sudah kembali bungkam saat kaleng kerupuk mendarat di kepalanya.
"Maaf, Nay. Lo pikir segampang itu ngelupain mantan? Apalagi gue udah jadi bucin dia. Yang pasti gue nggak kontakkan lagi sama dia," jelas Sebastian.
Benar, Sebastian tidak pernah lagi berurusan dengan Putri meski nyatanya pemuda itu masih ada perasaan dengan wanita itu. Harusnya dia tidak perlu marah.
"Tapi, Nay. Gue harap perceraian itu nggak akan terjadi."
Kanaya mengangguk setuju. Ia tidak ingin menghancurkan kepercayaan kedua orang mereka.
"Jadi, lo harus bertanggung jawab sama perasaan gue."
"Kok gue?"
Tubuh Kanaya sudah maju hingga wajahnya sejajar dengan wajah Sebastian.
"Lo buat gue jatuh cinta sama lo," bisik Kanaya lalu terkekeh menertawakan raut wajah Sebastian yang sudah memerah.
Sejujurnya Sebastian berbohong pada ucapannya yang tidak memiliki perasaan pada Kanaya. Jauh sebelum ia mengenal Putri, Sebastian menaruh hati pada gadis itu. Sampai akhirnya Putri mengambil alih perasaannya sesaat dan mengecewakannya suatu waktu. Rasa suka yang berangsur menjadi cinta itu perlahan kembali tumbuh seiring menjadikan mereka sebagai pasangan suami istri.
~~~
Please, give your comment and vote
Thanks
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Hidup
General FictionKata orang pria dan wanita tidak bisa jadi teman, tapi lain halnya yang terjadi dengan Kanaya dan Sebastian. Dua manusia itu sudah jadi teman sejak orok. Keduanya mematahkan pernyataan itu sebab persahabatan mereka tak lekang oleh waktu bahkan diaku...