"Tari!"Gadis yang sedang berjalan menuju parkiran itu mendadak menoleh pada asal teriakan yang memanggil namanya.
Seperti mimpi, ia melihat Rendy sedang berjalan ke arahnya. Seketika dia tertegun hingga pemuda itu sampai di hadapannya.
"Tar!" Rendy mengguncang bahu gadis itu karena tidak merespon panggilannya. Tari terkesiap dan gelagapan.
"Em, ya, Ren. Lo manggil gue?"
"Iya, kok lo malah bengong sih?"
Rendy meneliti perubahan raut wajah Tari yang mendadak berkeringat.
"Ah, maaf, gu-gue kira pak Hakim mau nagih revisi gue," jelasnya asal.
Rendy tersenyum dan itu manis banget. Tari tertelan saliva sendiri.
"Lo mau pulang?"
Tari mengangguk ragu. Entah kenapa tiap ngomong sama Rendy, lidahnya seakan kelu lalu Tari melihat pemuda itu menghela nafas.
"Ada apa, Ren?"
"Gue mau cari teman buat ngasih saran," jelasnya.
Dahi Tari mengkerut. Sejak kapan dia bisa dijadikan tempat permintaan saran? Seumur-umur baru Rendy yang gini ke dia.
"Kayaknya lo salah orang deh, Ren!"
Rendy menggeleng yakin.
"Lo nggak mau bantuin gue?" Tanyanya dengan muka memelas. Seketika Tari jadi kasihan.
"Kalo teman buat saran sih, bukannya Jeje dan Jojo lebih meyakinkan?"
"Gue butuhnya saran cewek."
~~~
Tari tidak menyangka seorang Rendy Pratama yang dikenal cuek seketika bisa cerewet saat mengomentari suatu hal.
Tari memandang kagum pada Rendy yang berbicara pada salah satu karyawan mall itu.
"Kata mbaknya, gaun ini lebih bagus. Menurut lo gimana?" Rendy membawa dua gaun yang ia perlihatkan pada Tari.
"Yang pink lebih soft. Tapi yang ungu juga lebih elegan," jawab Tari memberikan saran.
Rendy kembali menimbang. Dia bingung luar biasa.
"Jadi gue harus beli dua-duanya?"
Tari mengangguk. "Kalo bisa dua kenapa harus satu."
Seketika Rendy terkekeh sambil membenarkan apa yang dikatakan gadis itu. Kemudian pemuda itu menuju kasir untuk membayar belanjaannya.
"Makasih banget, Tar. Nggak salah gue ngajak elo," kata Rendy saat mereka mendudukkan diri di sebuah kafe dalam mall tersebut.
"Gue juga seneng bisa bantuin elo."
"Gue harap hadiah ini sesuai dengannya." Rendy tersenyum melihat ke dalam totebag nya.
"Nyokap lo ulang tahun ke berapa?"
Seketika dahi Rendy mengkerut.
"Ini bukan hadiah buat nyokap gue. Masa iya gue beliin gaun kayak gini."
Sekarang giliran dahi Tari yang mengkerut. Tadinya ia pikir Rendy membelikan gaun itu untuk mamanya. Lantas?
Tari mendapati Rendy tersenyum. Kemudian pemuda itu mencondongkan tubuhnya ke depan lalu berbisik pada gadis itu.
"Gue mau kasih ini pada hari ulang tahun, Ayu."
Seketika seperti ada yang patah di dalam sana. Sungguh sakit hingga Tari refleks menyentuh dadanya.
"Jadi ... lo suka sama Ayu, anak akuntansi?"
Rendy mengangguk.
"Sebenarnya gue malu bilang ini ke lo, tapi karena lo udah bantuin gue, jadi ini adalah sebagai penghargaan dari gue," ucapnya lanjut tertawa.
Tari berusaha tersenyum meski hatinya menangis. Selama ini dia mengharapkan sesuatu yang tidak bisa ia miliki. Jadi untuk apa selama ini dia berusaha?
"Btw, gue penasaran waktu lo mau ngomong sesuatu ke gue saat pesta nikah Tian. Sebenarnya lo mau ngomong apa?"
Tari menarik nafas dalam-dalam. Sungguh sekarang hatinya sedang tidak baik-baik saja. Ia ingin menangis, tapi malu jika harus di depan Rendy.
"Tar, lo kenapa? Hidung lo merah gitu. Lo sakit?"
Gue sakit, Ren, karna lo, Tari ingin mengatakannya. Namun, mustahil. Dia bukan siapa-siapa di hati Rendy.
Tari menggeleng lalu berdehem untuk menetralisir perasaannya.
"Gue cuma pilek," jawabnya bohong.
"Yaudah, kita pulang aja, yuk!" Ajak Rendy.
"Ren!"
Seketika Rendy yang bersiap pergi menoleh pada Tari yang memegang tangannya.
"Sebenarnya waktu itu gue mau ajak lo nonton. Lo mau nggak nemenin gue nonton?"
Boleh, kan Tari berharap meski sulit mengubah segalanya? Ia tahu ini salah. Dari pada ia menyesal seumur hidup, lebih baik ia mencoba sekali walau ia tahu jawabannya tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Rendy tersenyum lalu mengangguk.
"Lo mau nonton apa? Gue temenin lo."
~~~
Dulu ia sering membayangkan suatu saat bisa pergi kencan dengan Rendy. Bahkan pergi nonton ada di salah satu list kencannya. Namun bukan seperti ini yang ia inginkan. Tari memang sedang nonton dengan Rendy. Hanya sosoknya, tapi tidak dengan hatinya.
Permintaannya untuk mengajak nonton adalah pilihan yang tepat sebab ia bisa menangis tanpa diketahui Rendy. Bahkan saat tangisnya semakin menjadi, Rendy seperti tidak tahu. Pemuda itu tampak fokus menonton film wedding dress yang ditampilkan pada layar besar di depan mereka.
Tari ingin menggenggam tangan Rendy saat itu juga sebelum tangan yang lain yang menggenggamnya. Tapi ia tidak ingin Rendy tahu akan perasaannya. Ia takut pemuda itu berbalik meninggalkannya jika tahu perasaannya.
Layar besar itu sudah menampilkan deretan nama-nama para pemain menandakan filmnya sudah selesai. Seketika lampu dinyalakan membuat semua yang berada di dalam ruangan itu terlihat jelas.
Rendy menoleh ke samping dan mendapati Tari menyeka air mukanya dengan tisu.
"Filmnya sedih banget, ya. Lo sampe nangis gitu," ucap Rendy sambil mengelus rambut Tari.
"Iya, gue sampe nggak bisa nahan ingus. Pasti muka gue jelek banget ya?"
Rendy menggeleng.
"Lo masih cantik, kok."
Coba saja Rendy tahu saat ini perasaan Tari seperti diaduk-aduk. Tadi sedih sekarang malah kembali berbunga. Rendy sialan!
Tari jadi bingung akan perasaannya. Jadi dia harus begitu saja mundur? Tidak adakah kesempatan barang sekali saja?
Tari hanya bisa mengharap pada takdir hidupnya.
~~~
Sumpah, gabut banget. Alur cerita berantakan, wkwkwk
Please, tinggalkan jejak ya, komen dan vote nya, thanks
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Hidup
General FictionKata orang pria dan wanita tidak bisa jadi teman, tapi lain halnya yang terjadi dengan Kanaya dan Sebastian. Dua manusia itu sudah jadi teman sejak orok. Keduanya mematahkan pernyataan itu sebab persahabatan mereka tak lekang oleh waktu bahkan diaku...