[Drama, fabel]
Dengan gagah ia bentangkan sayap, membelah langit dengan bangga, selagi menatap ke bawah binatang tak bersayap yang menatapnya kagum. Dengan bulu cokelat yang bersih menghias badannya, membuat ia semakin dikagumi bagi siapa saja yang melihatnya terbang.
“Lihatlah dia, terbang bebas di angkasa!”
Begitulah pujian yang kerap ia dengar, yang mana membuatnya kian melambung. Semakin tinggi terbangnya, semakin ia merasa bangga. Kadang ia merasa telah menjumpai awan dan menyentuh mentari. Belum lagi ia telah berencana akan mengelilingi dunia dengan sepasang sayap kecilnya yang kokoh. Maka, ia terbang. Semakin tinggi hingga merasa telah melampaui awan dan badai.
Itu beberapa tahun silam selama ia berbangga diri melintasi awan dan badai. Hingga pada suatu siang yang terik, tubuhnya terasa letih dan rapuh.
Burung yang berbangga akan kekuatannya kini mulai goyah, angin yang biasa menerpanya terasa menyiksa, ditambah napasnya terasa berat kian detik ia hirup.
Semua telah berubah, tidak seperti sedia kala. Terbang bebas di langit, hanya itu yang didambakan. Tapi, takdir berkehendak lain ketika sayapnya tidak mampu menopang badannya lagi.
Hari ini, dia mulai letih. Di usianya yang entah sudah berapa musim ini, mulai melemah. Bulu yang menghias badannya dengan indah mulai mengikis, sayap yang kokoh mulai rapuh, dan kini ia tidak lain hanya seekor burung yang tidak bisa terbang kembali, seperti hari di mana ia menetas.
Ia terjatuh ke tanah, tak berdaya. Begitu membalikkan badan, pemandangan langit biru menyambut seolah merindukan kehadirannya. Di tengah menyapa awan-awan, matanya terasa berat begitu juga napasnya.
Hingga tubuhnya menyerah.
Badannya terasa dielus angin sementara tanah tampak semakin mendekat ke wajahnya. Ia tidak mampu mengepakkan sayap lagi, dia sudah cukup letih terbang selama beberapa musim yang dilalui. Ketika badannya terasa ringan dan semakin dekat ke tanah, ia hanya bisa membayangkan rasanya tidur setelah sekian lama menjelajahi langit.
Ketika raga bertemu tanah, burung kecil itu tidak tahu ke mana ia mendarat, hanya bisa merasakan dari tubuhnya di mana ia berada. Yang diingat hanya tanah hijau yang perlahan berganti warna. Tanah ini terasa aneh. Tidak biasa dia mendarat apalagi jatuh ke tanah yang terasa keras lagi dingin ini.
Bukan, ini bukan tanah, melainkan seperti batu. Tapi, ia tidak tahu apa batu bisa semulus ini teksturnya apalagi dengan bentuknya yang rata.
Begitu kakinya berhasil menopang badan, ia berdiri dan mengamati sekitar. Sambil membersihkan bulu cokelatnya yang mulai memudar dan kotor, diselidikinya tempat baru ini. Belum pernah ia melihat bentuk taman seaneh ini.
Di depan matanya, ternyata ada garis-garis putih yang membatas antara dia dan taman luar sana. Tapi, taman itu terlihat aneh di matanya, seperti ada sesuatu yang menghalangi pula, tapi tidak jelas bentuknya. Ia tatap lagi sekeliling untuk memastikan, barulah dia sadar kalau dirinya berada di tempat yang jauh berbeda.
Ia dikelilingi garis pembatas putih laksana disegel. Ketika ia mencoba keluar, hanya sayap dan kaki saja yang bisa menyentuh area luar.
Sering kali ia mendengar kabar dari kawanannya tentang makhluk besar yang senang menangkap burung sejenisnya lalu mengurung di tempat ini. Mereka menyebut benda itu sebagai “sangkar.”
Burung yang telah berusia beberapa musim ini mulai mengamati sekitar. Hanya ada dirinya, sangkar ini, dan sebuah tempat berisikan benda-benda asing. Tapi, ia tahu betul ini sarang makhluk besar yang kerap menangkap sejenisnya.
Menjerit pun percuma, karena yang ada hanya makhluk raksasa itu akan datang dan justru menikmati jeritan penderitaan mereka. Ia hanya burung yang sudah letih, kini telah dipaksa tinggal bersama makhluk yang tidak sudi ia tatap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fantalaqa [Antologi Cerita Fantasi] [✓]
Short StoryPernah berpikir bagaimana kisah siluman yang hidup di pegunungan terpencil? Atau kisah para mermaid bersama keluarganya menyelami lautan? Maupun kisah yang diambil dari sudut pandang seekor kucing? Semua kisah yang ada di antologi ini menceritakan t...