Episode 8 : Dilema

428 122 3
                                    

Risky tidak siap ditodong oleh adiknya saat pulang kantor begini, ia baru selesai lembur saat mendapati Sinta duduk disofa ruang tamu ditengah keremangan, lampu-lampu bahkan dimatikan. Hanya ada sorot dari luar yang membuatnya mampu sedikit melihat dalam kegelapan, walaupun tidak terlalu jelas.

"Mas..." panggil Sinta dengan suara seraknya.

Risky mematung diposisinya saat Sinta mulai terisak pelan, sebelum tangis yang menyayat mulai terdengar mememuhi seluruh penjuru apartemen 2 kamar ini.

Ia segera mendekat dan menarik Sinta kedalam pelukannya.

Astaga, apa yang sudah terjadi?

Tidak ada pertanyaan yang sempat Risky lontarkan, ia hanya memeluk Sinta sampai isak tangis gadis itu mereda.

"Ada apa?" tanya Risky pada Sinta yang terlihat sudah lebih tenang. Gadis itu beberapa kali menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya secara perlahan.

"Aku dan Bayu... Kami putus," bisik Sinta dengan suara seraknya. Dia mulai memeluk dirinya sendiri sebelum air mata yang mulai mengering kini kembali turun.

"Kenapa? Ada masalah apa?" tanya Risky beruntun. Ia tidak pernah melihat atau bahkan mendengar adiknya ini bertengkar dengan kekasihnya. Dan demi apapun, mereka sudah pacaran hampir 7 tahun, rasanya terlalu sia sia kalau putus begitu saja.

"Bayu mengira kalau Ibu sapa Bapak sebenarnya nggak merestui kami, cuma pakai alasan mas yang belum nikah aja supaya bisa menolak Bayu dengan cara yang lebih halus," katanya terbata.

Risky merasa sangat bersalah, ialah akar dari semua permasalahan ini. Tapi bagaimana menyelesaikannya? Bahkan 3 bulan ini Riski semakin sibuk hingga sering lembur, tidak ada waktu untuk sekedar kencan dengan perempuan.

Kembali ditariknya sang adik kedalam pelukannya. Ia belum punya solusi apapun selain menikah dengan seorang perempuan agar adiknya bisa menikah segera.

"Kamu yang tenang, nanti Mas yang ngomong sama Bayu, dia nggak akan ninggalin kamu, kamu tenang aja ya..."

Entah apa yang akan dia katakan pada Bayu agar bisa bertahan sedikit lebih lama, yang jelas Risky perlu menenangkan Sinta terlebih dahulu, masalah yang lain-lain ia bisa pikirkan nanti.

"Kamu istirahat ya... Jangan nangis lagi."

***

Mengobrol dengan Bayu membuatnya berada disatu titik keputusan. Menikah dengan segera adalah solusi paling masuk akal untuk saat ini. Baik Bayu maupun Sinta tidak memaksa untuknya agar segera menikah dan mereka bisa melangkah ke tahap selanjutnya. Tapi Risky tidak mau mengorbankan masa depan adiknya.

Tapi, mau menikah dengan siapa?

Solusi menikah segera memang masuk akal, tapi akan menjadi tidak masuk akal saat Risky sama sekali tidak memiliki calon yang bisa dia ajak menikah segera.

Dilema besar sama sekali tidak bisa diobati dengan segelas americano dingin yang dia pesan setelah Bayu pamit undur diri tadi.

Waktu sudah menunjukkan pukul satu kurang seperempat, ia hendak beranjak dari kursi saat perempuan itu memasuki cafe dan memesan di kasir.

Siapa lagi kalau bukan Wina.

Sebelum tidur semalam, Sinta menanyakan hubungannya dengan Wina, tapi Risky tidak menjawab dan hanya mendapat tatapan kecewa dari Sinta. Mungkin adiknya itu sudah sangat berharap pada hubungannya dengan Wina.

Perempuan itu keluar dari cafe membawa satu gelas es kopi, mungkin bersiap kembali ke kantor yang bisa ditempuh dengan jalan kaki.

Risky menyusul, berjalan mengimbangi langkah kecil Wina.

"Mas..." sapa Wina yang melihat wajah galau Risky.

"Hai... Lama nggak ketemu," ujarnya.

Wina mengangguk pelan dan menyeruput kopinya sambil berjalan diatas trotoar. Matahari sedang terik-teriknya, tapi Wina tampak tidak mempermasalahkan hal itu.

"Nanti sore... Balik jam berapa?" tanya Risky.

"Jam 5, kenapa?"

"Gue jemput ya, sekalian balik bareng."

Wina mengangguk mengiyakan sebelum mereka berpisah dipersimpangan karena harus kembali ke kantor masing-masing.

Risky tidak tau, apakah rencana diotaknya akan berjalan atau tidak. Mungkin Wina akan mencacinya kemudian membencinya kalau sampai tau rencana gila yang tersusun dikepalanya.

Perempuan itulah yang bisa membantunya. Apakah Wina bisa membantunya sekali lagi? Tapi kali ini, dengan konsekuensi yang sangat besar.

***

Wina menunggu Risky karena mereka janjian akan pulang bersama, tadi juga pria itu sudah mengatakan kalau dirinya sudah keluar dari gedung perkantoran yang bersiap menjemput.

Suara petir yang menggelegar membuatnya mengerut takut. Ia bahkan langsung menjejalkan phonselnya ke dalam tas karena takut tersambar petir.

Hujan mulai turun, ia kembali menaiki tangga gedung perkantorannya agar tidak terkena air hujan. Untung saja Risky mengajaknya pulang bersama, sehingga ia tidak perlu naik ojek dan kehujanan ditengah jalan.

Mobil yang ia kenal mulai terlihat, Wina bersiap berlari masuk ke mobil, tapi melihat Risky turun dan membawa payung, Wina jadi memilih menunggu laki-laki itu menjemput.

"Tadi panas banget, sekarang malah ujan gede banget kaya gini," gerutu laki-laki itu saat mereka memasuki mobil dan meninggalkan area perkantoran.

Jalanan mulai digenangi air, hujan turun semakin lebat, sehingga jalanan makin macet.

Walau jarak perkantoran dan apartemen mereka cukup dekat, kini jadi lebih lama karena hujan yang turun lebih lebat dari biasanya. Langit pukul 5 sore yang biasanya masih cerah, kini terlihat gelap, seolah waktu sudah lewat pukul 6 petang.

Setengah jam berkutat dengan kemacetan, Risky akhirnya berhasil memarkirkan mobil di basement apartemen Wina.

"Mau mampir, Mas?" tawar Wina, tentu saja hanya basa-basi.

Tapi, Risky memilih mengiyakan karena ia juga perlu berbicara dengan Wina ditempat yang lebih privat.

Sepanjang naik dengan lift, Risky berusaha menyusun kata-kata yang tepat untuk mengutarakan niatnya kepada Wina.

Melamar perempuan itu.

Reason To Marry YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang