Episode 9 : Lamaran Dadakan

437 131 2
                                    

Wina membuatkan kopi untuk Risky sementara coklat hangat untuknya. Jendela apartemennya menunjukkan langit yang gelap dan terlihat beberapa kali petir yang menyambar, suara gemuruh terdengar mengerikan, sehingga ia lebih memilih menutup semua tirai apartemennya, seperti yang biasa Wina lakukan.

Risky tampak melihat-lihat isi apartemennya yang sederhana. Apartemen studio ini hanya berisi 1 kamar dan 1 kamar mandi, ruang tamu menyatu dengan mini dapur miliknya. Semua serba minimalis.

"Kopi'nya, Mas... Sorry, cuma ada kopi instan," kata Wina seraya menaruh dua cangkir yang dia bawa diatas meja.

Mereka duduk bersisihan karena hanya ada satu sofa panjang menghadap televisi yang jarang sekali digunakan. Wina meniup coklat hangat miliknya sebelum perlahan menyesapnya.

Hawa dingin diluar membuatnya agak menggigil, padahal AC sama sekali tidak menyala.

"Thanks."

Keduanya saling diam, berkubang pada pemikiran masing-masing. Sampai Risky mengucapkan kalimat mengejutkan tanpa pembukaan sama sekali.

"Win, Let's get married."

Tangan Wina yang memegang cangkir menggantung diudara, untung saja dia masih memegangnya erat, kalau tidak... Coklat panas ditangannya pasti sudah tumpah keatas pangkuannya.

"Gue tau ini gila, tapi ayo nikah, Win..." imbuh Riski.

Tidak tau apa alasan laki-laki itu mengajaknya menikah, yang jelas kepala Wina terasa lebih ringan. Masalah keluarganya sudah memiliki titik terang, Risky datang disaat yang tepat.

"Yah... Gue tau lo gila, Mas. Tapi, let's do it."

***

Risky membawa Wina sekali lagi kehadapan orang tuanya, kali ini dengan status yang jelas, tidak seperti 3 bulan yang lalu. Ia belum menceritakan alasan dirinya melamar Wina padahal mereka tidak ada hubungan apapun, Wina pun belum cerita kenapa perempuan itu menerimanya dengan mudah.

Tapi yang jelas, pasti ada alasan yang mendukung Wina menerimanya dengan mudah.

Kali ini, pria itu menunggu Wina berdandan terlebih dahulu, ia duduk disofa yang sama dimana ia melamar Wina beberapa hari lalu seraya mengganti-ganti chanel tv.

Risky sudah menyampaikan ke keluarganya kalau mereka akan datang, dan disambut heboh oleh ibunya.

Sinta tidak mengatakan apapun saat tau kalau Risky sudah melamar 'kekasih'nya.

"Nanti ambil kue dulu ya, Mas," Kata Wina yang masih didalam kamar, Risky masih melihat perempuan itu berkutat dengan make up wajah lewat pintu kamar yang terbuka lebar.

"Dilebihin nggak belinya?"

"Iyalah, biar kamu bisa comot-comot dimobil nanti." Laki-laki itu tersenyum lebar bersemangat.

Kue yang dibeli Wina membuatnya ketagihan, katanya itu bisnis kecil-kecilan milik salah satu teman satu kantornya, namun masih beda divisi. Ibunya juga sempat bertanya belinya dimana pada Wina waktu itu dan langsung diberikan nomor untuk memesan. Walaupun agak jauh dan ongkos kirimnya agak mahal, tapi rasanya memang tidak mengecewakan.

"Yuk berangkat," ajak Wina yang sudah keluar kamar dengan penampilan lebih santai, celana kulot panjang dan blouse berwarna senada. Tidak seperti sebelumnya, Wina kini menggunakan heels pendek, yang sama sekali tidak menunjang tubuh pendeknya.

"Sebentar..." Risky menarik tubuh mungil Wina kedalam pelukannya. Ia hanya ingin menenangkan diri, meyakinkan diri kalau langkah yang mereka ambil adalah langkah yang tepat.

Walau belum sepenuhnya yakin, tapi Risky sangat amat berharap kalau Wina adalah perempuan yang tepat. Pelabuhan terakhirnya. Menjadi istri satu-satunya.

"Kenapa?" Wina menepuk pelan punggung kokoh Risky yang masih mendekapnya. Pelukan pria itu terasa berbeda. Ini pertama kalinya mereka bersentuhan secara intim. Dan Wina merasa sangat aman dalam pelukan tubuh besar Riski.

"Nggak papa, yuk berangkat."

***

Risky menghela nafas pelan saat melihat Sinta tampak happy, bahkan bapak dan ibunya pun tampak suka sekali dengan kehadihan Wina ditengah-tengah keluarga ini. Setidaknya, langkah pertamanya melamar Wina tidak salah, dan Risky juga berharap Wina tidak menyesal telah menerimanya secara cuma-cuma.

Ia membiarkan Wina berbaur dengan ibu dan Sinta, sementara Risky menghabiskan waktu ngeteh dengan Bapak di halaman belakang rumah yang sudah berubah banyak.

Ada satu kolam ikan sederhana dan banyak tanaman hias disekeliling, membuat halaman belakang yang dulunya hanya berisi rumput hijau, kini lebih berwarna.

"Jadi, kapan kita akan melawar Wina secara resmi?" tanya sang Bapak pada anak sulungnya.

"Kami belum ada ngobrol, Pak. Lagi sibuk sama-sama sibuk. Nanti deh, kalau udah dibicarain bakal di infoin lagi."

Sang Bapak hanya mengangguk pelan.

"Gimana menurut Bapak?" tanya Risky.

"Gimana apanya? Wina? Dia kelihatan anak yang baik, sopan, luwes juga pas diajak ngobrol ibu sama Sinta, Bapak nggak ada masalah sama pilihan kamu yang ini. Malah lebih mending Wina daripada perempuan-perempuan yang dijodohin sama kamu beberapa bulan yang lalu," kata Bapak.

Risky hanya terkekeh pelan tidak menjawab apapun, "Pantesan nggak mau, tipe kamu banget kan yang kecil mungil kaya Wina?"

Risky hanya mengangguk sambil tertawa kecil. Entah sejak kapan ia suka dengan perempuan dengan tubuh mungil, mungkin karena Ibu juga bertubuh kecil jadi Risky berpatokan pada ibu sebagai cinta pertamanya. Mencari yang mirip-mirip dengan ibu walaupun tidak secara pembawaan dan sifat.

Bukankah itu wajar?

Mungkin itu juga yang disebut fetish, walaupun Risky belum pernah merasa terangsang melihat tubuh mungil Wina, atau juga memang murni suka dengan perempuan yang seperti Wina. Dan juga, sejauh yang Risky kenal, Wina bukan tipe cewek aneh dan neko-neko, cocok sekali dengan dirinya yang mau serba praktis.

"Mas..." panggil Wina.

"Ya?"

"Ada telfon dari Mama, bisa ngomong sebentar?"

Risky mengangguk pelan dan berpamitan pada Bapak.

Reason To Marry YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang