Ayat Delapan

54 5 0
                                    

RENDA sadar, dirinya berubah menjadi seseorang yang serba terburu dalam melakukan sesuatu. Padahal sejak ia lulus sekolah menengah akhir, Renda sudah tumbuh menjadi sosok kalem dan bisa mengontrol diri.

Segala hal telah ditata dengan baik dalam pikirannya, setiap bagan atau rencana terlaksana sesuai dengan antrean. Tapi entah mengapa sekarang semuanya buyar.

Sejak ia memutuskan hubungan secara sepihak dan hatinya tak bisa ikhlas begitu mengetahui mantan kekasihnya secepat itu pindah ke lain hati, Renda tahu ini adalah buah pahit yang mesti diterimanya karena menanam tumbuhan berduri.

Juga Renda tak bisa menerka apa yang ada di dalam kepala Ozgur sekarang. Tak tahu pula bagaimana perasaan pria itu kepadanya. Yang jelas, Renda perlu membuktikan pertanyaan demi pertanyaan nan menguar dalam kepala tentang isi hati Ozgur saat ini.

Dengan mengeratkan camilan--kentang goreng--yang sempat dibelinya tadi bersama Ozgur, Renda sadar kondisi di tengah keduanya terasa kikuk. Mencoba mengalihkan fokus, gadis itu mengambil sepotong kentang goreng dan memakannya. Layu. Hambar. Dingin. Persis seperti bungah yang ada dalam sanubari keduanya.

"Bagaimana kegiatanmu?" Ozgur yang bertanya lebih dulu. Sejatinya ia merasa gerah dengan kecanggungan yang mengikat mereka. "Apa kau sudah memutuskan untuk menetap di Paris?"

Menyadari Ozgur mengingat setiap kenangan yang pernah terjadi antara mereka, membuat Renda salah tingkah. Bagaimanapun empat tahun tidak akan menguar sia-sia dari ingatan keduanya.

"Kegiatanku seperti biasa. Pemotretan di siang hari sampai senja, lalu dilanjutkan promosi brand-brand yang terikat kontrak denganku." Renda mengunyah tanpa semangat kentang gorengnya. Ia duduk bersebelahan dengan Ozgur saat ini, setidaknya hal itu bisa disyukuri karena Renda tak perlu memusatkan netranya pada milik Ozgur yang terasa hampa. "Aku masih menjadi warga negara Turki saat ini, soalnya dokumen kepindahanku tertahan di meja kedutaan."

"Kenapa bisa begitu?"

"Kau tahu seperti apa Paris itu, Ozgur." Renda menoleh, memberanikan diri untuk melihat sosok yang acap kali menghiasi masa lalunya.

Sudah satu tahun lebih rupanya, tidak ada yang mempengaruhi penampilan Ozgur. Pria itu masih sama maskulinnya seperti terakhir mereka menjalin asmara.

"Kau sendiri bagaimana?" Renda memperhatikan saksama bagaimana sorot mata Ozgur berubah dari hampa menjadi sedikit bercahaya. "Kudengar kau sudah menikah."

"Ya." Jawabannya cepat, seolah ia mantap mengatakannya. "Sepekan lalu."

"Kenapa tidak mengundangku?"

"Pernikahannya sederhana." Ozgur berkata pelan. "Lagipula aku menikahi warga negara asing."

"Tidak ada salahnya kau menghubungiku." Renda menjawab percaya diri.

Ozgur tidak meresponnya. Pria itu masih senantiasa menatap lurus ke arah orang yang berlalu-lalang. Latar tempat mereka sedang duduk di bangku pinggiran kota, masih tempat yang sama ketika Ozgur sedang berbincang dengan Qaila melalui ponsel.

Mengingat Qaila, Ozgur merasa hatinya dihantam perasaan bersalah karena tadi ia secara terburu mematikan sambungan obrolan mereka. Pasti istrinya salah paham. Ozgur tak sempat berpamitan pada Qaila.

"Sepertinya aku harus kembali." Ozgur langsung berdiri, menghindari berlama-lama dengan sang mantan kekasih.

Renda tergagap begitu mendapati Ozgur sudah memasang ancang-ancang pergi. "Bisakah kita berbicara lebih lama? Ada yang ingin kusampaikan."

"Aku harus bekerja."

"Kumohon...." Renda memelas, tangannya tak lepas menggenggam milik Ozgur. "Sekali ini saja."

Karasevda (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang