Ayat Empat

62 7 1
                                    

HIDANGAN dari Eropa memang terbilang asing karena perbedaan benua sehingga kuliner yang ada pun beragam rupanya. Seperti sekarang, Qaila cuma bisa duduk termenung di atas kursi makan, memperhatikan dengan raut bingung, tepat di hadapannya tersaji sebuah hidangan yang terlihat sangat menarik sebab dominan berwarna merah.

Selama Qaila menjalin hubungan bersama Ozgur, bisa terbilang ia jarang mencicipi masakan suaminya itu, pertama karena hubungan mereka lebih banyak dihabiskan dengan jarak jauh, kedua Ozgur juga tidak mau unjuk diri, faktanya ia memang koki sejati, sebab memilih hidangan yang dibeli daripada dibuat sendiri.

Sebuah tepukan terasa di bahu kiri Qaila, membuatnya menoleh ke sumber sentuhan, tapi telinga kanannya malah dihadiahi suara berat Ozgur, lantas Qaila memutar kepalanya dan terkejut tatkala menyadari jarak kepala mereka sudah sangat dekat.

"Makan yang banyak." Ozgur mengecup pipinya sekilas, menimbulkan suara godaan dari anggota keluarga yang lain.

Qaila langsung salah tingkah mendengar seruan yang menguar di langit-langit ruang makan. Karena gugup, sendoknya sampai terjatuh ke bawah. Baru ia menunduk hendak meraihnya, tetiba datang sebuah tangan mendahului gerak tubuh Qaila.

Ozgur tersenyum setelah mengambil sendok Qaila yang terjatuh, ia tidak langsung memberikan pada sang istri, melainkan menggosoknya dengan apron dan meniup-niupnya sedikit.

"Mungkin beberapa bakteri sudah terlanjur memanjat sendok ini." Ozgur menyerahkannya setelah memastikan sendok itu tidak kotor lagi. "Celemekku bersih, sudah disemprot disinfektan."

"Jangan berlebihan, Ozgur," jawab Qaila berusaha menutupi kegugupannya.

"Perlu." Ozgur menjawab singkat. "Karena aku tidak mau kau jatuh sakit."

Lagi, suara godaan itu muncul.

"Ah, aku merasa kembali muda." Tuva memegang kedua pipinya. "Sudah berapa lama kita menjadi suami dan istri, Sayang?"

Kemal mengendikkan bahunya. "Usiaku saja aku tidak ingat, apalagi usia pernikahan kita."

"Kalau kita bagaimana, Sayang?" Ozanay mengerling pada Flamur.

"Kuharap bisa lebih abadi dari Ayah dan Ibu." Suaminya mengulum senyum geli, apalagi setelah berkata demikian, Tuva langsung manyun mendengarnya.

"Hei, jangan lupakan aku di sini belum memiliki pasangan." Orhan bersuara, ia tidak mau dianggap nyamuk tak berguna. Setidaknya ia lebih besar dari nyamuk, badannya saja jelas nampak di sini, loh, hei, tolong lah sadari.

Ozgur berdeham. "Karena aku sudah selesai masak, mari kita makan."

"Ini saja?" Ozanay meremehkan. "Bahkan calon anakku bisa buat lebih baik darimu."

"Bercocok tanam saja belum." Orhan mencoba menahan tawanya.

Ozgur terkekeh. "Coba adukan, siapa paling mumpuni dalam mengawini?"

"Hei! Ini bukan ajang perlombaan, Bodoh!" Ozanay sudah bangkit dari duduknya, hendak menerjang kedua adik laki-laki yang kurang ajar tetapi pergerakannya lantas ditahan Flamur.

"Ozanay, jangan mengumpat di depan makanan." Nasihat Kemal.

"Aku belum punya anak karena memang keputusanku dan Flamur untuk menunda, bukan karena kinerja Flamur yang tidak bagus." Lidahnya memelet. Ozanay merasa harga dirinya tercungkil padahal yang dibicarakan adalah perihal suaminya.

Karasevda (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang