Ayat Lima Belas

28 5 0
                                    

SUASANA dapur pada siang hari itu terasa sangat panas sebab kepulan asap mengumpul di langit-langit, sirkulasi yang tersedia membuat suhu panas itu berdesakan hendak keluar. Beberapa koki yang punya jadwal sejak pagi sudah mengeluarkan peluh dan merasa tubuh mereka lengket sebab keringat.

Tak terkecuali Ozgur, ia mencuci wajah berkali-kali untuk memberikan rasa segar ke seluruh tubuhnya. Hari ini lumayan heboh sebab memasuki awal pekan, beberapa pengunjung tidak berhenti keluar dan masuk restoran untuk menghabiskan hari Senin mereka.

Ozgur cukup keteteran menerima banyaknya pesanan. Dari yang mudah hingga yang susah. Tapi paling banyak orang memesan ketika jam makan siang datang. Sekitar waktu Zuhur tadi dan itu sudah berlalu tiga puluh menit, pengunjung belum juga mereda.

Kendati karena sudah renjananya, Ozgur tidak mengeluh. Ia sangat senang menjalani hari-harinya sebagai koki di sini. Hingga tanpa terasa, matahari yang semula berada di atas kepala mulai meluncur perlahan dan mempertemukan manusia dengan golden hour.

Ozgur membersihkan wilayahnya dengan mengelap beberapa cipratan minyak serta saus, tak lupa mencuci tangan, lalu ia mulai melepas apronnya. Berniat menyudahi jadwal kerjanya hari ini, tapi pandangan Ozgur menatap keheranan ke penjuru dapur restoran.

Seharusnya yang menggantikan posisi Ozgur adalah Serkan. Tapi sahabatnya itu belum juga nampak di pandangan. Tatapan kebingungan yang menyorot setiap bagian dapur dari Ozgur dipahami oleh salah satu rekan kerjanya.

"Ozgur, kau sudah dapat kabar dari Serkan?" Tanya Bedirhan.

Kepalanya menggeleng. "Memangnya ada apa?"

"Dia izin datang terlambat hari ini, katanya kau harus segera melihat ponsel setelah menyelesaikan jadwalmu. Sepertinya teman kalian ada yang mengalami kecelakaan."

Ozgur mengerutkan kening. Teman katanya? Teman siapa?

Setahu Ozgur ia cuma memiliki Serkan sebagai teman dalam artian sahabat. Lingkaran pertemanan mereka juga cuma berfokus pada keduanya, tidak ada orang lain kecuali....

Mata Ozgur langsung membelalak, ia segera berlari terburu menuju bagian belakang dapur, dekat loker tempat biasa mereka meletakkan barang-barang, termasuk ponsel.

Setelah mengaktifkan data seluler, Ozgur mendapati banyak notifikasi dan salah satunya berasal dari Serkan. Ada panggilan tak terjawab serta beberapa pesan, dengan bergetar, Ozgur mencoba membuka surat dari sahabatnya itu. Lantas ia langsung pamit pada teman kerjanya dan mengambil absen pulang.

Langkah pria itu terburu, hingga tanpa sadar hatinya bergemuruh cemas. Kekhawatirannya berlipat setelah pikirannya kembali mengulang setiap kalimat yang dikirimkan Serkan padanya.

Serkan Asher
Renda meneleponku tadi malam, katanya kalian sedang bertengkar?

Serkan Asher
Aku tidak tahu apa yang terjadi pada kalian, tapi tiba-tiba saja pagi tadi Renda mengirim pesan padaku mengatakan selamat tinggal. Perasaanku betul-betul tidak enak.

Serkan Asher
Aku memutuskan pergi ke rumah Renda.

Serkan Asher
Ozgur, kau harus ke sini! Renda mencoba bunuh diri!

Serkan Asher
Aku akan datang ke restoran setelah kau ada di sini, aku tidak bisa meninggalkan Renda begitu saja, aku terlalu takut kalau dia mencoba menjerat lehernya lagi dengan tali.

***

Renda mengerjapkan mata ketika sayup-sayup ia mendengar dua suara pria di sekitarnya. Ia mengerang kesakitan begitu merasa lehernya sangat kebas. Matanya memaksa terbuka, lantas wajah panik Serkan menjadi penglihatan utamanya.

"Apa kau baik-baik saja?"

Renda mencoba bersuara untuk memberikan jawaban, tapi sesadarnya ia sudah mendapati sebuah alat penyangga kerongkongan mengitari lehernya.

"Aku kenapa?"

Serkan menghela napas, ia langsung beralih tatap pada Ozgur yang diam saja sejak mantan kekasihnya siuman.

Melihat kedatangan pria yang dulu hingga kini dicintainya, membuat jantung Renda berdegup. Ia mengalihkan wajah, tatkala mengingat kalimat Ozgur padanya waktu itu. Mudah sekali Ozgur melupakannya dan bersenang-senang dengan sang istri. Tanpa sadar tangan Renda terkepal, bencinya mulai merabuk nyata.

"Re?" Serkan memiringkan kepala, mencoba melihat ke sorot mata gadis di depannya. "Apa kau baik-baik saja?"

"Usir dia!" Renda menitah tanpa mau melihat. "Usir pria itu, Serkan!"

Keduanya jelas terkejut, mereka saling pandang.

Serkan berdeham sejenak. "Aku harus pergi bekerja dan aku meminta tolong pada Ozgur untuk merawatmu sampai aku pulang."

"Tidak perlu." Renda mencoba bangkit, mengikuti ia yang mengerang sakit. "Aku bisa sendiri."

"Lalu akan kubiarkan kau mengulangi tindakanmu tadi?" Serkan membantunya. "Jangan menjadi makhluk yang membangkang Tuhan, Re."

"Biar saja, aku lebih percaya setan ketimbang Tuhan."

"Jangan begitu, Renda!" Serkan mengingatkan.

"Aku sudah menjalani tuntutan Tuhan dalam dunia ini. Beribadah, melakukan hal baik, tapi kenapa Tuhan tidak membuatku bahagia?" Renda bersuara rendah. "Jadi untuk apa aku tetap menyenangkan hati Tuhan tapi Tuhan tidak pernah menyenangkan hatiku?"

"Pemikiran orang bodoh," komentar Ozgur. "Bagaimana bisa orang sepertimu mengatakan hal serendah itu?"

"Ozgur benar." Serkan mengangguk.

"Aku tidak peduli." Renda masih keras, ia bahkan masih membuang muka, tak mau menatap.

"Kalau mau senang, ikuti setan, silakan." Ozgur kembali bersuara. "Dunia bukanlah tempat penuh kenikmatan, melainkan tempat bersedih, tempat menderita, dan tempat untuk pemberian beban. Itulah kenapa Tuhan tidak dapat dilihat di dunia. Sedangkan satu-satunya tempat yang penuh dengan kenikmatan hanyalah Surga dan penghuni Surga yang sudah melihat Tuhan maka dia sudah mendapatkan kenikmatan yang sesungguhnya."

Renda terdiam mendengarnya, begitupun Serkan. Pada akhirnya, Serkan melipir, berpamitan dengan Ozgur dan Renda karena ia teringat masih punya jadwal bekerja hingga malam.

Masih hening di antara mereka, terlebih kepergian Serkan membuat keduanya semakin membungkam bibir. Sampai Ozgur berjalan mendekat dan duduk di tepi ranjang, meminimalisir jaraknya dengan Renda.

"Aku minta maaf, Re."

Renda tidak menjawab, ia masih tidak sudi menatap pada mantan kekasihnya.

"Sekarang beristirahatlah."

"Jangan pergi," katanya pelan. "Setidaknya tetap di sini, temani aku."

Ozgur mengangguk, ia biarkan mantan kekasihnya berbaring, mencoba mengumpulkan energi lagi setelah tubuh dan mental dibantai habis-habisan oleh kehidupan. Sampai tak lama setelahnya, terdengar dengkuran halus dari Renda.

Tangan Ozgur telaten, membenarkan letak posisi tidur mantan kekasihnya. Tergerak hati, Ozgur mulai mengelus kepala Renda dengan penuh kelembutan.

"Aku tahu berat jadi dirimu." Ozgur bersuara rendah, tidak mau mengusik tidur Renda. "Tapi jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidupmu seberat apapun itu."

Mata Ozgur mengarah pada jam yang berdenting, ia harus di sini, setidaknya menjaga Renda seperti amanah dari Serkan sampai sahabatnya itu pulang dari shift malam.

Sambil memijat kepalanya yang berdenyut, Ozgur juga merasa begitu letih. Hari ini sangat melelahkan baginya. Tubuhnya sudah digunakan lebih dari batas cukup demi bekerja di restoran sejak pagi. Lantas sekarang ia dihadapkan pada fakta menyakitkan, tak pernah terpikir olehnya bahwa Renda berani mengambil langkah sejauh ini.

Mendadak hatinya terketuk, ia pandangi nanar wajah tenang mantan kekasihnya. Ozgur merebahkan kepala, masih setia menatapi Renda yang diam dalam tidurnya.

"Semoga di depan sana kau bertemu dengan pria yang lebih baik dariku, Re." Ozgur memaksakan senyum. "Yang tidak akan membuatmu bosan bahkan setelah empat tahun."

*****
- bersambung, gulir terus! -

Karasevda (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang