Ayat Dua Puluh

51 5 0
                                    

TERSEDU sedan dirinya dikuasai emosi, tangannya jadi kebingungan sendiri untuk bergerak. Ingin melipat pakaian atau menyeka air matanya. Pada akhirnya Qaila berhenti dari kegiatannya mempersiapkan baju. Wanita itu duduk bertekuk di atas lantai, menyembunyikan wajah di antara kedua lutut dan menangis di sepuasnya.

Perasaannya benar-benar sakit, tak bisa digambarkan betapa duka itu merenggut jiwanya. Sambil sesenggukan Qaila juga menahan gejolak yang berbunyi di perut. Wanita itu menegakkan tubuh, pandangannya mengarah pada tas kertas yang dibawanya ke mana-mana. Isi dari tas itu tidak lain adalah lukisan dan juga dua kue yang kemarin lusa dibelinya, masih dibungkus rapat dengan plastik kemasan.

Qaila memandang sedih, ia langsung mengambil tas kertas itu, membuangnya bersama dua kue mangkuk. Sedangkan untuk lukisannya ia bawa lagi ke kamar dan menyelipkannya di bawah baju-baju yang sudah ia tumpuk di dalam koper, juga tidak ketinggalan lukisan terbarunya yang ia beri judul; Sayang. Gambaran dari wajah anaknya kelak yang dilukis menggunakan teknik karikatur.

Tangannya bergetar, mengelus lukisan itu dan menciuminya, tak luput air matanya mengalir tanpa henti.

"Maafkan Bubu, Sayang, Bubu belum bisa memperkenalkan Sayang pada Baba." Qaila memejamkan mata dengan erat, ia terisak hebat. "Maaf karena Bubu harus segera pergi meninggalkan Baba."

Penuh keyakinan, ia lanjutkan lagi kegiatannya dalam mempersiapkan kepulangan yang sudah ia prediksi. Hingga waktu bergulir cepat, Qaila tahu ini sudah jam Ozgur pulang bekerja

Sesuai dugaan, suaminya datang membuka pintu rumah dengan gerakan pelan, pria itu berjalan menuju padanya yang sudah menunggu di sofa, terduduk lemas setelah menyiapkan isi kopernya.

Pria itu tidak mengatakan apapun, langsung saja dirinya mengambil posisi duduk tak jauh dari sang istri yang nampak seperti patung.

"Qaila?" Ozgur menggenggam tangan istrinya, berusaha menyadarkan tatapan kosong itu.

Patah-patah kepalanya menoleh, istrinya menatap sayu. "Aku siap menerima apapun yang akan kau katakan."

Mendengar itu, Ozgur menghela napas. Ia beringsut, duduk lebih dekat dengan sang istri. "Apa yang kau rencanakan tadi di restoran, Sayang?"

Qaila tidak menjawab, tapi ia kembali meluruskan pandangannya, menghindari tatapan yang membuatnya sangat lemah.

"Hm?" Ozgur berdeham, menunggu jawaban. "Kau punya kejutan apa untukku, Qaila?"

"Tidak ada." Qaila berujar pelan. "Aku memang ingin menemui Serkan seperti yang kau katakan."

Hening.

"Aku tidak tahu apa salahku sampai kau menuduhku secara membabi buta begini dan membalasku seolah aku benar-benar melakukan hal nista itu bersama Serkan." Qaila bergetar, terlihat dari tangannya yang tremor. "Padahal yang sudah menunjukkan bukti perselingkuhan itu dirimu, Ozgur."

Pria itu diam mendengarkan.

"Kau bersama Renda beberapa hari ini dan jangan kira aku tidak tahu apa yang kau lakukan dengannya ketika pertemuan pertama kalian setelah kita menikah." Qaila memaksakan senyum, masih menatap lurus. "Kau pasti sangat merindukannya sampai menciumnya, bukan?"

Lantas tubuh Ozgur menegang saat mendengarnya.

"Kau juga sudah melakukannya bersama Renda." Qaila menunduk, bersama air matanya yang jatuh mengenai lutut, ia menggenggam kedua jemarinya, berusaha menguatkan diri. "Aku pikir, cuma aku satu-satunya untukmu."

Karasevda (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang