Ayat Dua

80 7 0
                                    

QAILA terjaga dengan tubuh tersentak, ia mencoba mengumpulkan kesadarannya yang sempat hilang dan memfokuskan diri terhadap lingkungan sekitar. Ini kamar kontrakannya, bersama tubuh lunglai, ia mencoba bangkit dan melihat ke sekeliling.

"Astaga!" Pekikannya terdengar tatkala ia mencoba untuk turun dari ranjang dan telapak kakinya mengenai tubuh seseorang. Di sana Ozgur tidur telentang, tanpa alas, cuma sebuah boneka beruang milik Qaila yang biasanya ada di sudut ranjang menjadi tumpuan kepala pria itu. "Ozgur, bangun!"

Pria berusia akhir dua puluhan itu mulai mengerjapkan mata beberapa kali, ia langsung melihat gambaran dari wajah khawatir calon istrinya.

"Kenapa kau masih di sini?"

Ozgur menegakkan tubuh, ia menumpu massa badannya dengan dua tangan bersandar. "Memangnya aku tidak boleh menemani calon istriku?"

"Ya ampun Ozgur, kau harus tahu kalau ini Indonesia, apa kata tetanggaku nanti jika mereka tahu aku tidur dengan lelaki yang bukan suamiku?"

"Aku calon suamimu."

Qaila menepuk jidat, mencoba menenangkan diri, gadis itu menoleh ke arah jam dinding, di sana jarum menunjukkan pukul delapan pagi.

"Apa yang membuatmu jadi tidur di sini?"

"Kau ketiduran semalam, aku tidak tahu bagaimana cara mengunci kontrakanmu ini, kalau ku tinggalkan dirimu di sini dan terjadi yang tidak-tidak seperti pencuri, perampok atau pemerkosa datang menganiayamu, bagaimana?"

Gadis itu terdiam mendengarkan, bibirnya ia kulum ke dalam, mencoba mencerna kalimat calon suaminya dengan pemikiran logis. Pemaparan Ozgur memang ada benarnya.

Sambil menghela napas berat, Qaila putuskan untuk bangun dan menjalani hari-harinya seperti biasa, minus pekerjaannya sebagai guru TK.

Mengingat hal itu, Qaila langsung menoleh pada Ozgur yang sedang menguap. "Hari ini aku ada jadwal bertemu dengan sahabatku."

Ozgur menatapnya. "Siapa?"

"Agnes." Qaila menjawab tidak acuh. "Dia salah satu guru di TK juga."

"Apa aku boleh ikut?"

Qaila menoleh. "Ini waktu untuk para gadis, Ozgur."

Bibir pria itu langsung mengerucut. Ia kemudian memutuskan bangkit dari posisinya dan merapikan penampilan sampai satu pandangannya tidak sengaja terarah pada sebuah lukisan yang digantung di samping jam dinding, tidak jauh dari posisi meja belajar.

"Aku tidak pernah tahu kalau kau bisa melukis." Tangannya hadir, meraih karya dari calon istrinya itu. Bukan lukisan yang realisme, bahkan nampak sekilas cuma paduan cat warna yang terlihat abstrak.

Qaila diam mendengarkan, ia memutuskan untuk menghampiri sang pria dan berdiri di sebelahnya, ikut melihat pada lukisan yang ia buat seminggu setelah Asih dinyatakan meninggal dunia.

"Bagaimana menurutmu?"

Ozgur tersenyum, kendati matanya tidak lepas melihat pada kanvas. "Indah."

"Aku membuatnya dengan menumpahkan semua emosi yang kutahan sejak Ibu pergi." Qaila tersenyum, ia mengingat momen-momen menyedihkan itu. "Terima kasih, Ozgur."

Karasevda (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang