Ayat Enam Belas

36 5 0
                                    

QAILA tersentak karena dentingan jam terdengar memekakkan telinga, ia memfokuskan pandangan dan melihat kalau jarumnya sudah berada tepat di angka dua belas. Dengan panik dirinya bangkit, menuju wastafel dapur untuk mencuci muka dan menatap keheranan pada seisi rumah.

Sudah selarut ini, tapi tidak ada tanda-tanda kehadiran suaminya, harap-harap cemas, Qaila langsung meraih ponsel yang berada di sekitaran televisi, tapi nihil, tidak ada satu kabar pun yang diberikan Ozgur padanya. Sambil menghela napas berat, Qaila berusaha memaklumi.

Ia tidak tahu sudah menunggu Ozgur berapa lama, sampai kantuknya kembali muncul, Qaila berdecak, menatapi angka di ponselnya sudah berada di dua. Lebih dari enam puluh menit ia berdiri menunggu di depan rumah, tubuhnya sudah mati rasa karena menggigil kedinginan, akhirnya Qaila mengalah, ia melangkah masuk ke dalam rumahnya.

Qaila mulai beranjak menuju kamar, terduduk lemas di tepi kasur, mencoba menghalau rasa kantuk yang menyerang. Sembari mengelus perutnya, tubuh Qaila berpindah posisi menjadi bersandar di kepala ranjang. Tangan wanita itu meraih kanvas yang sempat dicoretnya dengan beberapa cat, melukiskan sebuah kantung janin yang ia bayangkan. Janin di dalam perutnya.

Di tengah gundah gulananya, pintu kamar terbuka. Qaila langsung berdiri tegak, melihat kedatangan Ozgur. Ia pandangi suaminya yang nampak berantakan, persis seperti kejadian waktu itu, bedanya kali ini sang suami terlihat lebih tenang dan tidak meracau tentang sakit di kepalanya.

"Qaila?" Ozgur terkejut. "Belum tidur?"

Qaila menggeleng. "Aku menunggumu."

"Tidak perlu." Ozgur menghela napas. "Aku sering lembur sekarang ini, kalau kau lelah kau boleh istirahat lebih dulu, jangan menungguku."

"Kenapa?" Qaila bertanya.

"Aku hanya tidak mau membuat waktu tidurmu terganggu."

"Kau benar-benar sibuk, ya, Ozgur?"

"Restoran sedang ramai beberapa waktu belakangan," katanya sambil menggaruk tengkuk, seolah mengatakan sebuah kedustaan. "Sekarang tidurlah."

Qaila diam saja, ia pandangi suaminya, mencoba menelisik sesuatu yang dirasa cukup janggal.

"Aroma ini...." Qaila bersuara pelan, ia mulai memejamkan mata dengan erat dan menggelengkan kepala secara samar, berusaha menghalau sesuatu yang menjangkiti pikirannya. "Apa kau bertemu dengan Renda?"

Ozgur mematung di tempat, tak kuasa menjawab, hingga ia dapati istrinya kembali menggeleng sembari menatap penuh kecewa padanya.

"Untuk apa kau bertemu dengannya selarut ini?"

"Ada masalah pada Renda, Qaila."

"Masalah apa?"

Ozgur menggeleng. "Aku tidak bisa menceritakannya sekarang."

"Kenapa?" Qaila mengerutkan kening, dari air mukanya jelas kekecewaan mulai nampak. "Apa karena itu urusan asmara kalian yang belum sempat padam di masa lalu?"

Lagi, kepalanya menggeleng.

"Lantas apa?" Qaila merasa suaminya sangat gencar menutupi sesuatu. Ia dapat mencium bau-bau perselingkuhan yang ada di depan matanya. "Apa karena aku orang baru dan tidak sepantasnya tahu?"

Ozgur menghela napas lagi. "Kita akan bicarakan nanti."

"Katakan." Qaila berujar pelan, namun sudah selembut ini Ozgur tidak juga bersuara, atau minimalnya menenangkan emosi yang menjalar dari hati hingga ke seluruh tubuhnya. "Kenapa kau menghampirinya malam-malam begini, Ozgur?"

Pria itu membungkam bibir, berusaha menahan sesuatu yang ingin meledak karena dicerca terus-menerus.

"Apa yang kalian lakukan?"

Karasevda (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang