Ayat Dua Tiga

36 5 0
                                    

BANYAK orang yang bilang bahwa waktu itu lebih berharga daripada uang. Uang memang cepat sekali habis tak bersisa, tapi uang masih bisa dikumpulkan lagi, beda dengan waktu. Jika kita sudah kehilangannya, maka tak bisa kita putar ulang kenangan. Semua terjadi begitu cepat, berlalu tanpa bisa dinikmati.

Begitu juga hari-hari Qaila sejak ia ditalak suaminya. Pada awalnya ia tinggal di rumah sang ayah, membicarakan perihal perpisahannya dengan Ozgur, tapi diskriminasi itu jelas langsung diterima tatkala ibu sambungnya ikut campur, mencerca Qaila bahwa ia tidak bisa mempertahankan rumah tangga padahal sedang berbadan dua. Tak luput mengatainya sebagai ibu yang sengak karena membiarkan anak terlahir tanpa bapak.

Hingga akhirnya Qaila merasa tidak sanggup dan memutuskan kabur dari rumah keluarga baru sang ayah. Sedari dulu ia memang terbiasa sendiri, jadi seharusnya Qaila tidak risau mengenai dirinya.

Memang.

Tapi beda cerita saat ini karena ada bayinya yang bergantung. Acap kali Qaila merasa tidak sanggup bertahan sendirian, ia mengandalkan uang pesangon yang diberikan Ozgur padanya sebelum ke Indonesia, namun uang tersebut pastinya perlahan mengalami kesurutan, Qaila perlu memutar otak, dari mana dirinya harus mendapatkan penghasilan buat bertahan hidup.

Meminta pada ayahnya tidak mungkin.

Meminta pada Ozgur, jauh lebih tidak mungkin.

Kini mereka bukan siapa-siapa, sehingga segan bagi Qaila tetap menjadikan Ozgur tempatnya berpulang, berteduh dan beristirahat. Qaila harus menepis jauh-jauh keinginan hatinya tersebut.

Terlebih ini sudah lewat empat bulan, tapi Ozgur tidak memberikan tanda-tanda seperti menghubunginya untuk membahas mengenai perceraian mereka. Selama empat bulan itu juga sejak Qaila minggat dari rumah ayahnya, ia memutuskan mengontrak seperti dulu ketika masih lajang.

Kalau ditanya mengapa tidak Qaila yang menghubungi Ozgur untuk meminta kepastian, jawabannya adalah sudah, tapi pria itu jelas sudah berubah sepenuhnya karena setiap panggilan yang Qaila hubungkan tak pernah diangkat padahal tersambung dan setiap pesan yang terkirim tak pernah dibaca sekalipun.

Qaila sampai berkali-kali tersenyum miris. Ia merasa kalau Ozgur sudah sepenuhnya membuang segala hal tentang dirinya. Meski begitu Qaila tidak mau ambil peduli, walau hatinya sakit, ia jauh lebih sakit jika memilih bertahan. Memeluk Ozgur seperti memeluk kaktus, ada duri yang menikam ketika ia berusaha kuat merengkuhnya.

Duri itu tak lain tak bukan adalah Renda.

***

Qaila menggenggam erat minuman yang tersaji di depannya, ia seringkali menunduk, menghindari tatapan sinis yang diarahkan lawan bicaranya.

"Kamu bodoh, ya?" Agnes tidak bermaksud menghina, hanya saja ia tak habis pikir dengan sahabatnya. Menerima pinangan dari lelaki yang belum dikenalinya begitu lama, lalu saat bahtera rumah tangga dibangun, sahabatnya malah dihadapkan dengan masa lalu yang menghancurkan. "Setelah semua yang sudah dia lakukan ke kamu, kenapa kamu diam aja, La?"

"Nes, kamu tahu aku kayak gimana." Qaila mengulum bibirnya. "Aku enggak bisa membalas orang-orang yang jahat sama aku."

"Makanya kamu diam saja ketika diintimidasi sama si Gayatri?" Agnes menghela napas kasar. "Sekali-kali jadi jahat, La, jangan baik terus, yang ada malah ditindas tau enggak!"

Karasevda (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang