Ayat Tiga

79 7 0
                                    

KEPALANYA menunduk, berusaha menunjukkan kesopanan, kendati rasanya sangat tidak nyaman memakai topeng dan terlihat tersenyum--palsu--di depan ibu sambungnya.

"Mau minum apa?"

"Enggak perlu repot, Ma." Qaila menyergah, ia bukannya segan tapi tahu diri, dari nada bicara Gayatri jelas menunjukkan wanita itu tidak sudi kedatangan tamu seperti dirinya. "Saya ke sini cuma mau ketemu sama Ayah."

Gayatri memicing sebentar. "Ayahmu lagi pergi keluar."

"Kalau boleh tahu, ke mana, Ma?"

"Kamu 'kan anaknya, masa nanya saya?" Sewot, begitulah sedari awal sikap yang ditunjukkan Gayatri pada anak tirinya.

Qaila memaksakan senyum. "Saya pergi saja, Ma."

Gayatri mendengkus. "Ada yang mau kamu bicarakan?"

"Sebetulnya saya ada urusan sama Ayah," ucap Qaila.

"Masalah pernikahan kamu?"

Qaila tidak menjawab, ia hanya menyunggingkan senyum.

"Sudah yakin mau menikah?" Gayatri nampak mencemooh. "Memangnya bisa membina rumah tangga di usia semuda kamu?"

"Apa masalahnya, Ma?" Qaila mengerutkan kening. "Saya bakal berusia kepala dua. Lagipula mengapa usia menjadi patokan seseorang untuk menunjukkan bisa atau tidaknya dia dalam membina rumah tangga?"

"Buka mata kamu, contoh di luar sana banyak!" Gayatri mencebik. "Terus karena kamu bakal menginjak umur dua puluh tahun kamu merasa sudah dewasa?"

"Saya rasa omongan Mama semakin melantur." Qaila menghela napas. "Ini hidup saya, Mama enggak berhak mengurusnya."

"Masih untung saya nasihati kamu, selama ini siapa yang pernah ngasih kamu wejangan supaya kamu enggak salah langkah? Ibumu saja sudah meninggal sejak kamu masih kecil. Ayahmu? Jangan kira saya enggak tahu perangainya gimana," tukas Gayatri. "Belum bisa ngasih apa-apa saja sudah sok!"

Qaila mengepalkan tangan, mencoba menahan emosi yang berdenyaran di dalam dada. Sumpah, jika ia tidak memiliki keperluan yang amat mendesak, Qaila juga tidak mau datang ke rumah Qomar, itu sama saja seperti bunuh diri. Ucapan Gayatri bak belati, siap menyembelih dirinya kapan pun sampai selalu saja perasaannya berakhir mati.

Sesaat Qaila bangkit mencoba menulikan telinganya dari kalimat yang akan terlontar lagi, tiba-tiba pintu terbuka, nampak Qomar di sana menatapnya dengan wajah terkejut.

"La?" Qomar masuk ke dalam, ia langsung memeluk putri semata wayangnya. "Sejak kapan sampai?"

"Baru." Sekuat-kuatnya Qaila menahan diri agar tidak menangis. Suaranya berusaha terdengar datar walau aslinya gemetar.

"Semua dokumen sudah kamu urus, Nak?" Qomar merangkul bahu sang putri, mengundang julingan mata dari istrinya. "Kapan Ayah bisa menikahkan kamu dan Ozgur?"

"Secepatnya," jawab Qaila. "Besok bisa."

Qomar terkejut. "Tiba-tiba sekali. Apa kamu sudah memikirkannya dengan matang-matang?"

Kedua matanya terpejam, menghela napas beberapa kali, meredakan gemuruh yang masih setia bermukim. Lebih cepat lebih baik. Hatinya berujar itu terus, lantas kepalanya mengangguk.

Karasevda (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang