Seharusnya saat itu juga gue paham, kalau mereka dua orang yang berbeda.
~Amara Claudia Syahara~
×××15 menit mendekati bel masuk berbunyi, suara gaduh masih menggema di seluruh pelosok sekolah. Ini adalah hari kelima setelah di laksanakan Ujian Nasional oleh siswa kelas 12, yang artinya adalah hari free bagi semua siswa kelas 12. Dimana mereka hanya tinggal menunggu waktu kelulusan dan pagelaran wisuda. Mereka punya wewenang untuk masuk ke sekolah ataupun tidak, itu hak mereka. Kalaupun ke sekolah, syaratnya dilarang mengganggu jadwal KBM adik kelas yang berlangsung di sana.
“Oke, kalau mau pulang kasih tau gue. Kita bareng,” ucap Adnan.
“Yaelah, lebay amat! Gue bisa pulang sendiri nanti," tangkas siswa berwajah sama di hadapannya.
“Kita berangkat bareng, pulang juga harus bareng,” putus Adnan.
Ali menghela napas, “Oke!” sembari menganggukkan kepalanya.
Adnan tersenyum, menjulurkan tangan menepuk bahunya, “Gue ke kelas dulu.”
Ya, mereka adalah si kembar identik. Adnan Ali Ibrahim dan Abidzar Ali Ibrahim. Putra sulung Ibrahim dan Aisyah. Kini, keduanya sudah beranjak dewasa dengan perbedaan karakter yang mencolok di antara keduanya. Tapi dari segi fisik, keduanya sangat mirip. Hanya satu tahi lalat kecil di dekat hidung Ali, yang membedakan mereka. Itupun kalau orang lain bisa melihatnya.
Adnan dan Ali sama-sama memiliki kelebihan pada parasnya, yakni ketampanan bak pangeran. Kulit putih, hidung mancung, mata tajam dengan netra hitam legam, dan alis tebal. Benar-benar pahatan Tuhan yang luar biasa.
Adnan dengan otak encernya yang selalu menyabet juara paralel bertahan, di tambah dengan kedudukan mantan ketua OSIS membuatnya di segani banyak orang, terutama kaum hawa. Perawakannya yang berwibawa membuat setiap orang yang memandangnya pertama kali selalu mampu di buat jatuh hati, dan kesan yang di jatuhkan padanya adalah sempurna.
Berbeda dengan Ali, adik kembar Adnan itu lebih cenderung pada kebalikannya. He is a bad boy, but handsome too. Ali memiliki attitude yang lebih buruk. Sering bolos kelas, tidak mengerjakan PR, iseng dan sarkastik. Tapi meskipun sering bolos kelas, otak Ali juga tak dapat di remehkan. Beberapa kali mendapat predikat juara satu di kelas cukup menunjukkan bahwa cerdas adalah bawaannya sejak lahir.
Jam istirahat menjadi alasan utama kenapa kantin saat ini sangat ramai. Semua siswa berdesak-desakan demi bisa mendapat tempat duduk dan makan disana.
“Sumpah, ya, ini kok rame banget, sih! Sumpek gue lihatnya,” celetuk Sania sembari mengipasi rambutnya. Siswi kelas 11 Ipa 2.
“Amara? Lo seminggu ini kemana? Kok nggak masuk, nggak ada keterangan lagi, lo sakit?” Pertanyaan Davina membuat satu baris orang di sana menatap Amara.
“Iya, seharusnya kalo lo sakit kasih surat atau nitip info ke siapa gitu. Lagian mukanya juga masih pucat gitu.” Amara menatap satu persatu temannya, lalu menggeleng.
“Tuh kan, panas! Kelihatan banget wajah lo masih pucat, Ra. Ke UKS yuk, gue Anter,” tawar Dhea sambil berdiri, bersiap membawa Amara ke UKS.
“Nunggu teh nya dateng dulu, ya, gue haus banget soalnya,” lirih Amara dengan seulas senyum.
“Gue bisa susulin teh nya ke UKS, nanti. Sekarang lo ke sana dulu deh,” pinta Davina di angguki oleh yang lain.
“Sumpah, sumpah, sumpah! Demi apapun itu kak Adnan bukan, sih? Aaa... ganteng bangeet! Jadi pengen peluk,” ucapan Sania membuat atensi semua orang beralih ke sumbernya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMARA
Teen FictionAmara, remaja SMA yang harus mengalami pahitnya kehidupan karena problem keluarganya. Kesendirian, kesepian, dan gelapnya malam sudah menjadi teman kala dunia seolah tak menganggap dia ada. Dan penderitaannya bertambah kala itu... Saat seorang lelak...