Part 3. Dia, Ali

78 16 1
                                    

Pada akhirnya gue paham kalo Lo emang manusia kiriman Tuhan buat gue.

~Amara Claudia Syahara~
×××

Matahari yang mulai tenggelam dari peradabannya membuat sinarnya begitu jingga. Menyorot mata yang kini mengerjap untuk terbuka. Amara menghirup napas dalam-dalam, seolah oksigen telah lama di renggut darinya. Dia mencoba duduk, mengedarkan pandangan saat sadar tak mengenali tempat ini.

“Minum!” sebuah gelas berisi air putih tersodor tepat di depan wajahnya. Membuat Amara mendongak untuk melihat ke arah pemilik tangan itu. Tidak salah lagi, pria itu adalah kakak kelasnya. Kembaran mantan ketua OSIS-nya, Abidzar Ali Ibrahim.

Amara meraih gelasnya, dan meminumnya dengan sedikit terburu-buru. Efek panik dan ketakutan masih dia rasakan. “santai minumnya!” tak dia hiraukan, gelas yang telah kosong itu dia letakan ke meja di sampingnya.

Dengan mata yang masih sayu, Amara menatapnya. “Dimana?”

“Lo tadi pingsan sebelum sampek tujuan, jadi gue berhentiin di rumah orang.” Ali duduk di kursi seberangnya.

“Lo tadi mau di lecehin lagi?” pertanyaan yang Ali lontarkan hanya mendapat lirikan mata dari Amara. Tanpa berniat menjawabnya.

Seolah sadar apa yang telah terjadi, Amara kontan melihat ke bawah dan memegang erat seragam bagian dada yang kancingnya sudah tertutup. Kilasan kejadian itu mulai bermunculan, membuat raut wajahnya berubah pias.

Ali yang melihatnya, ingin mengatakan sesuatu untuk menghindari kesalahpahaman. Tapi,

“Wahh, si eneng udah bangun. Gimana keadaannya? Masih pusing?” Seorang wanita paruh baya keluar dari dalam dengan segelas teh hangat di tangan kanannya. Wanita itu mendekat lalu duduk di samping Amara.

“Di minum dulu, teh manis katanya bisa buat nambah daya tahan tubuh.” ujarnya sembari menyodorkan segelas teh hangat. Amara kembali tersenyum, kemudian menerimanya. Meminumnya perlahan.

“Tadi yang ngancingin bajunya... ibunya, bukan gue.” ucap Ali, berusaha menepis lebih dulu apa yang mungkin saja Amara pikirkan.

“Nah, iya. Tadi yang ngancingin seragamnya, ibu. Si mas-nya yang maksa, dia nggak mau.”

“Takut khilaf kali, ya neng. Abisnya si eneng cantik pisan. Mas-nya juga ganteng, cocoklah! Pacar yang serasi.” tambah ibu itu sedikit berbisik dengan mata mengering jail. Amara yang mendengarnya merasa lega, ada sebagian dari hatinya yang merasa terenyuh.

“Saya bukan pacarnya, Bu.” sanggah Ali yang sebenarnya mendengar apa yang mereka bicarakan.

“Aduh, anak jaman sekarang kalo di bilang pacaran nggak mau ngaku. Tau-taunya malah udah hamil duluan.”

“Uhuk-uhuk!!!”

“eh, aduh! Hati-hati neng, jangan buru-buru minumnya.” Amara terkejut, kalimat yang wanita itu katakan, berhasil membuat ketakutannya terasa nyata. Dia memang tidak punya pacar, tapi kejadian malam itu benar-benar sudah merusak semuanya. Bagaimana kalau dia hamil? Pertanyaan yang terus menghantuinya sejauh ini.

“Tapi neng, ibu percaya kok kalo pacarnya neng ini laki-laki baik. Nggak bakal macem-macem. Dari wajahnya aja ibu bisa lihat dia laki-laki yang arif, sekalipun dia kesini sambil bawa pacarnya dengan keadaan yang nggak wajar, dan nggak ngasih tau apapun tentang keadaan kalian saat ini. Dengan dia yang bilang ‘maaf, bu. Ini privasi, nggak baik untuk di umbar. Takut kalo malah jadi aib' Ya ibu mana bisa maksa.” Amara melirik ke arah Ali, laki-laki itu hanya diam, dengan pandangan tertunduk.

“Apalagi ibu makin kebawa hati saat dari tadi dia nanya jam buat tahu waktu salat ashar. Tapi saat ibu minta dia buat ninggalin Eneng, dia nggak mau. Karena dia bilang itu tanggung jawab dia sebagai orang yang udah bawa Eneng kesini. Dia tetep mau nunggu sampek eneng bangun.” Mengetahui itu, Amara semakin merasa tidak enak. Karena dia, Ali harus mengulur waktu salatnya. Amara meletakkan gelasnya, menatap ibu itu.

AMARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang