Part 2. Sepasang Mata

77 18 3
                                    

Gue nggak tau apa yang udah Tuhan rencanakan, tapi gue yakin semua ini bukan sekedar kata kebetulan.

~Amara Claudia Syahara~
×××

Bel pulang sudah berdentang sejak setengah jam lalu, tapi Amara masih tak mendapatkan satu kendaraan umum pun untuk bisa mengantarnya pulang. Dia masih diam di halte sembari menatap setiap kendaraan yang lalu lalang. Sampai beberapa saat kemudian barulah sebuah taksi mau berhenti saat dia melambaikan tangan. Senyum cantik terbit di kedua ujung bibirnya. Amara berdiri, lalu masuk ke kursi penumpang.

“Jalan Anyelir, Pegangsaan no. 14 ya, pak.” ujarnya. Sopir taksi itu mengangguk. Mobil mereka pun melesat mengarungi kota.

Saking lelahnya dengan aktivitas sekolah, Amara tanpa sadar jatuh tidur. Tak terasa setengah jam berlalu begitu cepat. Dia terbangun dan terkejut saat menyadari kalau jalan yang kini di lalui bukanlah jalan menuju rumahnya. Dengan sigap dia menegakkan punggungnya, kembali mengamati ke luar jendela.

“Pak, pak, perasaan ini bukan jalan ke rumah gue deh, kita salah jalan, pak.” protes Amara.

“Nggak salah kok, dek. Emang ini jalannya.” jawabnya. Amara mengerutkan dahi.

“Kok ngeyel sih, kita tuh salah jalan, pak. Mending puter balik, deh!” bantahnya.

“Nggak akan salah jalan kok, kan kita mau main dulu.” Mendengarnya, Amara sontak menatap sopir itu melalui kaca depan. Senyum khas om-om mesum ada di wajahnya.

Sial! Gue di jebak!

Dengan perasaan yang sangat dongkol, Amara berusaha membuka sendiri pintu mobil.

“nggak akan bisa, kan kuncinya di sini.” Amara semakin geram, dan mulai memukul kenop mobil dengan paksa. Supaya terbuka. Tapi mendadak mobil berhenti saat sudah berada dia area penuh rerimbunan. Layaknya hutan.

Sopir itu mulai melepas selt belt-nya, lalu menoleh ke belakang. Jantung Amara berpacu semakin cepat saat pria itu mulai mendekatkan diri padanya. “Breng**k! Mau apa Lo?!” makinya.

“Mau main, nggak mungkin lah aku sia-siakan gadis cantik kayak adek ini. Ayo, jangan sok jual mahal!” pria itu mulai merangkak.

Plak!

Amara menampar dengan sekuat tenaga lalu mendorong tubuh pria itu. “Sok jual mahal Lo bilang! Gue emang bukan cewek murahan, ya! Dasar pedofil bego!” sembari melindungi diri, Amara terus berusaha membuka kunci mobilnya.

“Oh, mau main kasar ya dek? Iya?” Amara semakin panik saat pria itu dengan paksa menarik bahunya lalu mendorongnya. Membuat Amara kontan terjerembab. Dengan cekatan pria itu menindihnya.

“Ayolah, om nggak akan main kasar kok, kalo adek nurut.” ujarnya dengan kedua bibir yang menyunggingkan senyuman. Hal itu justru membuat Amara semakin muak.

“Sial! Lepasin! Gue masih anak sekolah, breng**k!” Amara terus memberontak, berusaha lepas dari jeratan lelaki itu.

“Aduh, cantik-cantik kok banyak bicara, ya kamu!” pria itu merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah plester besar. Amara melotot, dia terus menggelengkan kepalanya saat pria itu merekatkan plester itu ke mulutnya.

“Nah, gini kan tenang.” Kedua tangan Amara yang awalnya terus memukul dan berusaha mendorongnya, kini ia ikat juga ke atas kepala dengan sebuah sapu tangan.

“Hmmpptth!!!” dengan wajah yang sudah mendekat, pria itu mulai meraih satu persatu kancing baju Amara. Satu kancing terbuka, Amara semakin emosi saat jemari lelaki itu sudah meraih kancing keduanya.

AMARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang