Part 7. Taman Kilisuci

174 13 1
                                    

Senggaknya gue tahu, kalo Lo orang paling egois yang pernah gue kenal.

~Amara Claudia Syahara~
×××

Plung... Plung... Plung...

Entah kali ke berapa kerikil itu di lempar. Menjadi pelampiasan dari penantian yang sampai sekarang tak berujung juga. Sudah hampir satu jam Amara menunggu, tapi lelaki itu masih tak muncul juga.
Suara gesekan antara sendal dan rumput menciptakan seulas senyum di bibir Amara. Penantiannya tidak akan sia-sia, karena setengah hatinya masih yakin bahwa Ali pasti datang.

“Dua puluh tujuh menit lebih sembilan belas detik, gue terlambat. Dan Lo masih di sini?” Amara berdiri, menepuk-nepuk roknya yang mungkin kotor akibat duduk di rerumputan.

“Karena gue yakin kakak pasti dateng,” ucap Amara sambil menampilkan senyum cantiknya. Ali memutar bola matanya jengah. Melangkahkan kaki ke lain arah. Lalu duduk di ujung taman, membiarkan kakinya menggantung. Di susul Amara, duduk dengan sedikit jarak di samping Ali.

Amara menelengkan wajahnya, menatap Ali intens. Hingga membuat lelaki itu risih di buatnya. “Kenapa lihatin gue?”

“Cuma mau mastiin kalo lo nggak lagi bohongin gue, dengan minta Kak Adnan buat dateng ke sini dan gantiin Lo.” Ali menatapnya jengah.

“Nggak, gue Ali,” balas Ali datar.

“Gue tahu.”

Kini keduanya saling diam, dengan kedua pasang mata yang sama-sama terfokus pada pemandangan lalu lalang orang di taman.
Embusan napas di lepaskan, disusul dengan kalimat yang mulai meluncur dari bibir Amara. “Apa yang akan kakak lakuin saat ada di posisi gue?”

“Posisi Lo?” tanya Ali dengan kedua alis berkerut.

“Di rusak, apalagi sama orang yang sama sekali nggak Lo kenal.”

“Nggak ada. Karena gue nggak pernah dan nggak akan pernah ngerasain itu,” balas Ali.

Amara mendengus, “Berada di posisi laki-laki itu maksudnya.”

“Nggak bakal. Karena gue nggak akan ngerusak anak orang, apalagi orang yang gue sayang. Jadi, sorry gue nggak punya jawaban untuk pertanyaan Lo.”

Amara mengumpat pelan atas jawaban yang Ali berikan. Mengesalkan!

“Gue mau minta bantuan sama kakak,” ucapnya to the point.

Ali kembali menoleh. “Bantuan apa?”

“Nyari bajingan yang udah ngerusak gue.” Satu kalimat yang di ucapkan bersamaan dengan kedua belah tangan yang sudah mengepal erat. Rasa benci dan hancur itu kembali muncul kala situasi kembali membuatnya teringat pada peristiwa malam itu.

“Buat apa?” satu alis Ali terangkat.

“Minta tanggung jawab?” tambahnya, “ckk,” decaknya kemudian.

“Lo hamil?” tudingnya tanpa aling-aling.

Amara menoleh. “senggaknya gue perlu bicara sama dia sebelum hal yang paling gue takutkan terjadi,” ucapnya.

“Lo mau bicara apa sama bajingan kayak dia? Bilang baik-baik kalo lo hamil anak dia, dan minta tanggung jawab? Ck, percuma! Gue berani taruhan, bajingan kayak dia nggak bakalan mau,” terangnya emosional.

“Terus gimana kalo gue beneran hamil? Gue masih nggak tahu apa yang bakal gue lakuin nanti, seandainya gue beneran hamil. Gugurin kandungan? atau ngelepas sekolah demi bisa ngelahirin anak itu? Gue masih punya masa depan, gue punya cita-cita yang sampek sekarang sama sekali belum bisa gue kejar.” Amara menatap Ali, tepat di iris matanya.

AMARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang