Part 4. Kulkas Pedes

70 17 1
                                    

Manusia nggak akan bisa kabur dari masalah. Karena sampai kapanpun dia akan di hadapkan dengan yang namanya tanggung jawab.

~Adnan Ali Ibrahim~
×××

"Ishh... Risih banget, sih pake beginian. Ribet! Tau bajunya modelan gini sekalian nggak usah ganti aja tadi." Sembari melangkah keluar masjid, Amara terus menggerutu. Meluapkan kekesalannya pada Ali perihal pakaian yang tadi Ali belikan.

"Tuh, dia. Enak aja udah nongkrong disana." Matanya menyipit, Amara mulai melangkah gontai ke arah Ali yang sedang duduk di kursi dekat motornya.

"Eh, kulkas pedes! Maksud Lo apa beliin gue baju beginian?" Selorohnya to the poin, sembari menunjukkan gamis panjang yang kini sedang di kenakannya. Ali berbalik, ingin marah karena Amara datang menimbulkan kekagetan, yang menyebabkan puting rokoknya jatuh begitu saja. Ali menatapnya dengan tatapan menilai.

"Apa?!! Lihat-lihat. Gerah tau!" Tambahnya sambil mengipasi rambut panjangnya. Jilbab yang tadi Ali belikan pun hanya tersampir di bahu, tak dia pakai.

"Nggak perlu ceramah, nggak butuh gue! Cepetan naik!" ucap Ali datar, Amara melongo, pria itu seolah sama sekali tak terpengaruh oleh ucapan kekesalan Amara.

"Hiiihh!! Gue nggak lagi ceramah! Kok Lo makin rese, sih jadi orang!!" geramnya lalu memukul bahu Ali sedikit keras, membuat pria itu meringis sebentar.

Ali kembali menoleh dan menatap Amara. "Lo kalo mau nginep disini, bilang! jangan banyak basa-basi. Buang-buang waktu!" bisiknya, tak lama motornya ia nyalakan.

"Eh.. eh.. gu-gue.. nggak nginep sini. Gue jelas ikut Lo pulanglah!" Ujar Amara, menahan kaos Ali, pria itu sudah siap melajukan motornya. Telat sebentar saja dapat di pastikan Ali benar-benar meninggalkannya.

Amara menyingsing gamisnya hingga lutut, kemudian naik ke jok belakang. "Udah!"

Ali sedikit melirik ke belakang, lalu geleng-geleng kepala. "Kenapa Lo? Keram leher?"

"Percuma gue beliin gamis, kalo Lo nggak tau adabnya." Amara mengernyit.

"Maksudnya?"

"Nggak, lupain!" Amara memutar bola matanya malas.

"Emang siapa yang mau dibeliin baju kayak gini? gue sih, ogah!" Bantahnya mentah-mentah. Ali mulai melajukan motornya untuk pulang. Mengantar Amara dulu, baru pulang ke rumah.

Tepat setelah Iqamah masjid pesantren berkumandang, Ali baru saja memarkirkan motornya di depan rumah. Melepas helm dan menyugar rambutnya ke belakang. Cukup melelahkan!

Ali melangkahkan kakinya masuk, bertepatan di sana ada Ibrahim dengan pakaian khasnya yang akan berangkat ke masjid. Ali mendekat lalu mencium tangannya takzim.

"Sekolah free, Adnan pulang dari sore. Kamu dari mana?" Pertanyaan yang bernada sinis itu membuat Ali mengembuskan napas.

"Habis ke rumah temen, nongkrong bentar, bi." Jawabnya sambil menatap netra milik abinya.

Ibrahim mengangguk, tangannya terulur mengusap rambut berantakan putranya. "Masuk terus mandi dan salat, habis itu makan. Kamu pasti capek." Ali tersenyum tipis dan mengangguk.

"Tunggu!" Langkahnya yang baru beberapa terhenti saat suara Ibrahim menginterupsinya.

"Apa ini?" Ali berbalik, melihat Ibrahim yang sudah menatapnya dengan alis bertaut.  Tangan kanan Ibrahim terangkat, menunjukkan sehelai rambut panjang yang baru dia temukan melekat di kaos belakang putranya. Pasti pemiliknya adalah seorang wanita.

"Teman kamu perempuan?" Ulang Ibrahim. Ali mengembuskan napas panjang sebelum menatap kembali abinya dan memberinya jawaban.

"Temen Ali cowok, tapi tadi pas di jalan Ali nggak sengaja ketemu cewek yang lagi di culik. Ya udah, Ali tolongin. Mungkin itu rambutnya." jawabnya simple.

AMARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang