10. BROWNIES DAN INSIDEN

618 168 17
                                    

Sinar matahari merambat masuk ke kamar Lily. Cewek yang biasanya baru membuka mata dari mimpi kini tengah merias diri senatural mungkin di depan cermin. Rambut yang biasanya terkuncir kini dibiarkan tergerai.

"Udah siap!" ujar Lily lalu menatap jam dinding di kamar. Ah sial, ternyata baru pukul enam. Tapi dia sudah rapih, hanya tinggal menyantap makanan.

Semalam, dia dan Gilby berbicara sampai larut malam di balkon. Dan di akhir panggilan, cowok itu bilang kalau mereka akan berangkat ke sekolah bersama besok. Ya, jadi itu alasan Lily sudah rapih sepagi ini.

Lily menyambar tas, kemudian bergegas turun ke bawah. Dira tampak menata sekotak brownies yang sudah pasgi untuknya.

"Mah, sarapannya belum ada?" tanya Lily saat tak mendapati sepiring makanan pun di meja makan.

Dira langsung menepuk dahi. Wanita paruh baya itu tampak mengeluarkan sesuatu dalam microwave. Bubur instan.

"Mamah nggak masak pagi ini. Maaf ya. Eh tapi Ly, kok kamu jam segini udah sarapan? Biasanya kan masih mandi." Adia meletakkan semangkuk bubur panas di meja makan dengan sarung tangan tebal.

Aromanya membuat perut Lily mual. Dari dulu, dia tak suka bubur instan. Tapi Dira tak pernah tau karena memang Lily selalu menghabiskan apapun yang Dira masak. Lily sangat menghargai Dira dan juga makanan. Walaupun setelahnya perutnya tak enak sampai sore.

"Nggak papa kok Mah. Pengin aja, hehe."

"Papah belum selesai mandi tuh. Ngantor jam tujuh. Mau diantar sama sopir aja?" tanya Dira sembari menaruh kotak bekal di samping Lily.

Lily menggeleng kuat. Cewek itu menghentikan suapan buburnya, lalu meneguk air. Pipinya memerah tiba-tiba. "Lily ........ ekhm, Lily mau berangkat sama-"

Suara bel depan memotong pembicaraan mereka. Dira segera beranjak untuk membuka pintu. Sedangkan Lily lanjut menyuap bubur dengan terburu-buru.

Ceklek.

Pintu terbuka. Dira dapat melihat Gilby dengan pakaian olahraga lengkap dengan headband di kepalanya. Otak Dira seketika bergerak begitu cepat. Melihat penampilan Lily yang lebih feminim dan bangun pagi, ditambah Gilby dengan tumbennya datang ke mari.

"Eh, Gilby. Ada apa? Tumben pagi-pagi nyamperin Tante?" goda Dira.

Gilby tersenyum tipis. "Lily-nya ada, Tante?"

"Ada kok. LILY, PACARNYA UDAH NUNGGUIN NIH DI DEPAN. CEPETAN SARAPANNYA!" Dira sengaja berteriak untuk menggoda putrinya. Entah hubungan seperti apa yang terjalin di antara keduanya, Dira juga tidak tahu. Tapi yang jelas, mereka menggemaskan.

Lily langsung tersedak mendengar teriakan Dira. Dia langsung menghampiri dua manusia yang tampaknya masih bercengkrama di ambang pintu.

"Nah, ini orangnya. Gih berangkat," ujar Dira seraya menarik Lily mendekat.

Keduanya menyalami tangan Adia sebelum berangkat. "Jangan ngebut-ngebut ya Nak Gilby," pesan Dira yang diangguki oleh cowok itu.

Gilby menyodorkan helm full face pada Lily. Dia sengaja membawa dua helm. Tapi ternyata cewek itu sudah menyiapkan helm sendiri. Melihat helm berwarna biru langit itu lebih cocok dengan Lily dibanding dengan miliknya, Gilby langsung menarik helm itu.

"Ah, nggak papa kok. Pake punya Kak Ilby aja!" Lily merebut helm full face berwarna hitam itu. Kemudian berlari ke dalam rumah untuk menyimpan helm miliknya.

"Ayo!" seru Lily sembari tersenyum, membuat Gilby kontan melakukan hal serupa. Lalu, cewek itu naik ke atas motor Gilby.

"Pegangan, yang kenceng. Lo tau kan kecepatan rata-rata gue berapa kalau pake motor," ujar Gilby sembari menarik tangan Lily agar melingkar di perutnya.

Lily terkekeh. "Ini namanya peluk bukan pegang, Kak," koreksinya, namun tak menolak untuk melakukan perintah Gilby.

Cowok itu semakin melebarkan senyumnya di balik helm, kemudian mengusap pelan tangan yang melingkar indah di perutnya.

•••

Lily mengayun kaki dengan buru-buru. Tujuannya adalah kelas Gilby. Cowok itu kabarnya terjatuh saat bermain futsal pada jam olahraga tadi. Sebenarnya itu hal yang wajar, tapi Lily tetap khawatir!

"Kak Ilby-nya ada, Kak?" tanya Lily tanpa malu malu pada salah satu penghuni kelas Gilby.

"Gilby maksud lo? Tuh, di dalam."

Lily tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Kelas Gilby tak ramai namun tak sepi juga. Sosok yang dia cari tengah asik merehatkan satu kaki di atas meja. Sedangkan pandangannya fokus ke layar ponsel sembari mengumpat karena nyaris kalah dalam game.

"Kak," panggil Lily. Cewek itu membawa air mineral dan kotak bekal miliknya.

Mendengar suara Lily, Gilby lekas menekan tombol kembali. Lalu menurunkan kakinya. "Ya?"

"Kaki Kakak nggak papa kan?" tanya cewek itu dengan nada khawatir.

Hati Gilby menghangat. Sebetulnya jatuh seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari Gilby. Cowok itu menyukai hal-hal menantang. Baginya ini terlalu sepeleh untuk dikhawatirkan. Tapi, karena ini Lily tidak ada salahnya kan jika dia sedikit melebih-lebihkan?

"Sakit. Sakit banget," jawab Gilby sembari sedikit meringis.

Wajah Lily semakin khawatir. "Kenapa nggak ke UKS aja? Di sana kan Kak Ilby bisa lurusin kaki," omelnya.

"Males. Nggak ada yang nemenin. Lo mau nemenin gue?"

"Mau," jawab Lily tanpa pikir panjang. Sedangkan Gilby langsung tertawa mendengarnya. Hal tersebut sukses membuat perhatian semua penghuni kelas tertuju pada mereka.

"Gue nggak papa. Makasih udah khawatir."

Lily menatap ragu cowok di depannya. Gilby yang paham langsung berdiri. Menyakinkan kekasihnya. "Liat kan? Gue nggak papa, Lily."

Kemudian, pandangan Gilby turun pada kotak bekal yang dibawa Lily. "Buat gue?"

"Iya, buat Kak Ilby."

Gilby melirik tajam teman-temannya yang kepo dengan pembicaraan mereka berdua. "Keluar lo semua," perintahnya. Dia tak suka menjadi bahan tontonan.

Lily terkejut, karena persis setelah Gilby berkata demikian, ruang kelas kosong dalam beberapa detik. Tak hanya itu, Gilby menarik Lily duduk di sampingnya.

"Suapin."

"Yang sakit harusnya kaki Kak, bukan tangan," cibir Lily. Cewek itu mengambil sepotong brownies kemudian dia gigit. Guna meledek Gilby.

Mendengar jawaban sekaligus tindakan Lily barusan, Gilby tersenyum miring. Cowok itu dengan cepat memiringkan kepala, mendekatkan wajah mereka, dan menggigit brownies yang berada di luar bibir Lily.

Spontan Lily membuka bibir karena terkejut. Otaknya tiba-tiba berhenti, tak bisa mencerna. Bukan ciuman, tapi Lily dapat merasakan bibir Gilby menyentuh bibir bawahnya.

"Uhuk, uhuk!" Lily tersedak setelah beberapa detik. Gilby dengan cekatan menarih air mineral dan memberikannya pada cewek itu.

Sementara keadaan di luar sangat ricuh. Anak-anak kelas meski sudah diusir Gilby sedari tadi, masoh nekat untuk mengamati. Dan hasilnya, beberapa dari mereka patah hati.

Sedangkan yang lain salah menduga. Mengira mereka berdua melakukan hal yang seharusnya tabu dilakukan di sekolah. "Anjir, mata gue ternodai. Mereka ciuman anjir!"

Fix, kabar ini akan segera meluas beberapa jam kedepan.

•••

NOTE :
AKHIRNYA AKU KEMBALI. CIA.
JANGAN LUPA JEJAKNYA!

GILBYLILYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang