03. BALKON

854 222 16
                                    

Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Lily baru bangun tidur. Setelah pulang dari kafe dan kehujanan, dia tertidur pulas hingga melupakan tugas-tugas hari esok. Kesialan seolah berpihak pada Lily, hidungnya pun kini mampet dan memerah, matanya pegal. Rasanya ingin tidur.

"Hiks, mana banyak banget," keluhnya sambil menyumbat hidung dengan tisu dan menangis.

Gilby memincingkan mata saat mendapati cahaya silau dari ruang rumah depan. Biasnya, cewek itu selalu mematikan lampu ketika sudah jam sembilan. Benar-benar tepat, tidak boleh lebih. Sepertinya Lily selalu menjaga pola tidur.

Penasaran, Gilby membuka pintu kaca di balkon. Dia bisa melihat cewek itu memegangi hidungnya dan mengusap mata beberapa kali.

"Dia kenapa?" gumam Gilby pada dirinya sendiri. Cowok itu kemudian mengambil ponsel, dan mencari grup pramuka yang dibuat dua minggu lalu. Berharap nomor Lily masih stay di sana.

Dan ketemu!

Karena Gilby tidak suka basa-basi, cowok itu langsung menelepon Lily. Di seberang, Lily terlihat mengecek ponsel. Selang beberapa detik, suara serak cewek itu menyapa telinganya.

"Halo? Ini siapa? Tukang paket?"

Gilby menjauhkan ponsel dari telinganya. Serius? Cewek itu tidak menyimpan nomornya? Dan apa tadi katanya? Tukang paket?! Tapi, kekesalan dia hanya bisa ditahan. Dari suara serak yang ditangkap telinganya, cowok itu sudah bisa menarik kesimpulan.

"Gue Gilby."

Sementara Lily yang benar-benar sudah mengantuk, nyaris menutup mata seketika langsung membuka mata lebar-lebar dan duduk tegak di kasur.

"K-kak Gilby?"

Gilby hanya membalas lewat deheman. Lily menjatuhkan ponselnya di kasur. Kaget. Cowok itu selalu saja membuatnya kaget. Kejadian di kafe tadi siang terulas kembali di ingatan Lily. Namun, dengan cepat dia tepis.

Cewek dengan hidung tersumbat itu memberanikan diri untuk melanjutkan percakapan. Dia mengambil napas dengan mulut sebelum kembali menempelkan benda pipih ke telinganya.

"Ada apa ya Kak?"

Senyap. Gilby sedang merangkai kata yang tepat untuk dia lontar, sementara Lily mengira cowok itu sedang gabut. Namun, saat jemari Lily hendak menutup panggilan, Gilby bersuara. "Lampu kamar lo mengganggu pemandangan."

"Hah?" ujar Lily spontan.

"Kenapa belum dimatiin? Nggak liat jam?" sambung Gilby yang mampu membuat Lily menggaruk tengkuk dan menundukkan kepala seolah dia tengah dimarahi.

"Maaf ya Kak, aku belum ngerjain tugas soalnya. Jadi belum tidur."

Sumpah, Gilby merasa kasihan, tidak tega, sekaligus kesal mendengar suara cewek itu jadi serak seperti baru selesai menangis. "Suara lo jelek."

"Hah? I-ini aku lagi flu, Kak. Kayaknya gara-gara tadi sore kehujanan."

Entah kenapa, rasanya Gilby tak tenang melihat cewek itu kesusahan sejak kejadian brownies dan sandi morse. Ekor mata Gilby juga sering menyorot ke Lily kalau di sekolah mereka berpapasan.

Dan, dengan berlandaskan kasihan, cowok itu bersuara. "Foto tugas lo. Kirim ke gue."

Dahi Lily dipenuhi kerutan saat mendengar permintaan Gilby. "Buat apa Kak?"

"Buruan."

Seperti biasa. Nada cowok itu selalu terdengar memaksa. "I-iya Kak."

"Tidur, tugasnya nggak usah lo pikirin. Awas aja dalam lima menit lampu kamar lo belum mati gue gedor rumah lo."

GILBYLILYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang