Seminggu sudah kedamaian melingkupi hidup, hati dan rumah tanggaku. Datang bulan telah usai dan digantikan oleh bulan madu lanjutan. Yah, bagaimana pun kami masih masuk hitungan pengantin baru kan? Baru menikah sekitar dua minggu yang lalu. Jadi wajar saja kalau kami masih merasakan yang disebut bulan madu, karena pernikahan kami bahkan belum memasuki hitungan bulan. Ah sudahlah, lupakan pembicaraan bulan ini.
Saat ini aku sedang dalam perjalanan menuju rumah orangtuaku. Lumayan, mumpung ada tebengan gratis. Retno sedang mau pulang kampung ke Bantul, kota yang sama dengan kampungku tercinta, rumah Ayah dan Bunda. Mungkin agak aneh juga ya, kalau rumah hanya di Bantul dan kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta untuk apa ngekos? Kalian rasakanlah dulu bolak balik dari Bantul ke Kota Jogja dengan jadwal kuliah yang padat merayap, baru berkomentar. Selain capek bolak balik, ditambah terkadang ada acara kampus yang selesai sampai malam hari, bukankah bahaya untuk kami para wanita cantik ini, jadilah jalan teraman adalah ngekos dekat dengan kampus. Lagipula Bantul termasuk jauh kalau daerahnya sudah masuk daerah Srandakan atau Brosot (perbatasan Kulon Progo - Bantul), dan di situlah rumah kami. Aku, asal Srandakan dan Retno asal Brosot. Jadi lumayan kan kalau kami saling tebeng saat-saat pulang kampung begini.
“Makasih ya, No.” ucapku berterima kasih karena sudah ditebengi oleh Retno sampai Bantul. Lumayan aku bisa menengok Ayah Bunda, dan nanti malam Bang Dipta yang akan menjemputku.
Sudah seminggu lebih sejak kabar mencengangkan tentang kehamilan Bunda, aku memang belum sempat menengok mereka. Selain karena jadwal kuliah yang lumayan padat, ditambah perang dingin-dingin empuk antara aku dan Bang Dipta –yang membuatku sama sekali tidak terpikir menengok mereka- dan kemudian dilanjutkan bulan madu kami yang sempat tertunda, ck, siapa juga yang bisa mengingat hal lain. Hahaaaa. Jadi maaf saja kalau baru hari ini aku sempat menengok mereka untuk lebih meluruskan hatiku menerima kenyataan yang terasa agak kecut ini.
“Yoi. Aku langsung pulang yoh. Salam aja buat Ayah sama Bunda. Udah sore. Assalamualaikum.” Pamitnya yang segera melajukan motornya tanpa menunggu jawaban salam dariku.
“Wa’alaikumsalam.” Lambaiku pada jalan sepi di hadapanku, karena jelas motor Retno sudah melaju dan hilang di belokan depan sana.
Kuhela nafas. Tiba-tiba saja perasaanku menjadi tidak karu-karuan. Sedari tadi dalam perjalanan menuju kemari sebenarnya aku sudah berusaha menyiapkan hatiku yang belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan. Tetapi untung saja Retno mengajakku mengobrol selama di jalan tadi, jadi aku agak lupa. Namun sekarang saat sudah berada di depan rumah sendirian begini hatiku merasa tidak enak lagi. Apa yang harus kulakukan nanti? Argh! Rasanya kalau begini kadar mengomel dan menyindirku tiba-tiba meninggi. Ingin rasanya mengomeli dan menyindir Bunda yang kurasa tidak sadar umur. Ck. Sudahlah, lebih baik aku segera masuk ke dalam rumah.
Kubuka gerbang rumah. Baru menjejakkan satu kaki ke halaman rumah saat aku melongo bingung. Eh, kok? Aku salah rumahkah? Dengan refleks aku segera keluar lagi dan menengok sekitar dengan lebih bingung. Aku tidak salah rumah. Ini benar rumah Ayah dan Bunda, terlihat dari pohon asam yang berdiri kokoh di dekat pintu gerbang. Kalau aku tidak salah rumah, lalu?
Dengan bingung, ragu-ragu, dan penuh tanda tanya aku membuka lagi pintu gerbang yang tadi sempat tertutup. Dan pemandangan di hadapanku masih belum berubah, masih seperti tadi. Kukucek mataku beberapa kali untuk memastikan kalau yang kulihat tidak salah. Ada tenda terpasang kokoh di halaman rumah. Tenda saudara-saudara! Setahuku tidak ada gempa lagi di Jogja, jadi kenapa ada tenda terpasang di halaman rumah Ayah Bunda? Dan setahuku juga tidak ada anak kecil di rumah ini, jadi siapa juga yang punya ide memasang tenda di halaman rumah begini?
“Assalamualaikum …” salamku masih tetap berdiri dengan bingung di dekat gerbang. Kakiku rasanya meragu untuk masuk ke dalam rumah. Ya siapa tahu kan, ternyata tanpa kutahu Ayah Bunda sudah pindah rumah dan sekarang rumah ini ditempati suami istri beranak 3 atau lebih. Atau yang lebih absurd lagi ternyata halaman rumah ini disewa untuk jambore nasional (oke, kalau ini jelas terlalu absurd). Ah, pokoknya aku benar-benar masih bingung dengan adanya tenda di halaman rumah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOM(ME)
General FictionBagaimana rasanya harus mendengar kabar kehamilan ibumu di saat kamu baru 5 hari menyandang status sebagai istri seseorang? Oh kalian pasti tidak ingin merasakannya. Karena itulah yang saat ini aku rasakan.