Sebuah Penerimaan

17.9K 914 46
                                    

Mengamati pantulan tubuhku melalui cermin di hadapan dengan seksama, tidak ada perubahan apa pun. Tubuhku masih tetap sama seperti kemarin-kemarin. Benarkah aku hamil?

Hasil dari 3 buah testpack yang kubeli menunjukkan hal sama, positif, aku hamil. Tetapi kenapa aku sama sekali tidak merasakan seperti orang yang sedang hamil? Atau mungkin ada yang salah denganku?

Semakin penasaran, aku mengangkat kaosku hingga sebatas dada. Perutku masih datar, sama sekali tidak ada yang berubah. Bukankah kalau aku memang hamil, perutku akan sedikit menonjol? Kuelus bagian di mana kurasa rahim tempat calon bayiku tumbuh dan berkembang berada, namun tetap tidak kurasakan apa pun. Atau jangan-jangan ini semua hanya ilusi? Kejadian demi kejadian kemarin hanya ada dalam mimpi atau bayanganku saja?

Bahkan mual, muntah yang seharusnya terjadi pada ibu-ibu hamil pada trisemester pertama sama sekali tidak aku alami. Perubahan yang kurasakan hanya aku cepat lapar, cepat lelah, cepat mengantuk dan cepat kebelet buang air kecil. Tanda-tanda yang sama sekali tidak meyakinkanku akan apa pun.

Benarkah seorang bayi kecil sedang bertumbuh dan berkembang di dalam rahimku? Aku masih tidak bisa mempercayai ini semua.

Lalu bagaimana nanti aku harus mengurusnya? Apakah aku mampu? Seumur-umur, aku belum pernah harus berurusan dengan seorang bayi. Walaupun banyak orang bilang kalau mengurus bayi itu hanya membutuhkan naluri keibuan, dan seorang ibu pasti bisa melakukannya. Tetapi aku sama sekali tidak yakin dengan diriku sendiri. Bayangan bagaimana aku harus menggendongnya, menyusuinya, memandikannya terasa begitu menakutkan untukku.

Bagaimana jika saat aku menggendongnya tanpa sengaja aku menjatuhkannya?

Bagaimana jika saat menyusuinya ternyata air susuku hanya sedikit memproduksi?

Bagaimana jika saat memandikannya tanpa sengaja aku menenggelamkannya?

Ya elah, kenapa semakin hari pikiranku semakin mengerikan saja. Kemarin hanya membayangkan adik dan anakku seumuran saja rasanya sudah menakutkan, dan sekarang timbul semakin banyak ketakutan yang rasanya semakin tidak masuk akal. Rasanya aku bisa gila kalau terus begini.

Ugh! Hamil ternyata tidak sesederhana yang pernah aku bayangkan! Kukira hamil adalah sebuah momen membahagiakan di mana limpahan kasih sayang berlebih pasti akan kita dapatkan dari orang-orang sekitar. Tapi boro-boro limpahan kasih sayang, yang ada momen ini justru menjadi momen yang membingungkan. Seharusnya juga momen ini bisa kurayakan dengan Bunda yang dulunya sangat menantikan kehadiran cucu, yang sekarang jelas sekali tidak mungkin. Boro-boro menantikan kehadiran cucu, sekarang Bunda terlalu dipenuhi euphoria kehadiran calon adikku.

"Sya ..." Panggilan tersebut segera saja menyadarkan kegalauanku yang tercurah dalam lamunan tadi. Baru tersadar kalau sejak tadi aku berpose di depan cermin masih dengan mengangkat kaosku, memperlihatkan perutku yang masih juga datar. Menghela napas, aku menurunkan lagi kaosku, merapikan kembali penampilanku.

"Ya, Bang." Kuhampiri asal suara Bang Dipta yang memanggilku. Terlihat di dapur, Bang Dipta sibuk entah meracik apa dengan posisi membelakangiku.

"Kenapa, Bang?" tanyaku sembari mengamati meja makan yang saat ini sudah penuh dengan berbagai macam makanan. Ada sate ayam, mie ayam bakso, ayam bakar, dan berbagai macam camilan dan gorengan ikut memenuhi meja makan. Ada acara apa memangnya?

"Makan ya, Sya?" Menaikkan satu alisku menatap Bang Dipta yang sekarang memegang satu gelas susu menghampiriku.

"Nisya kan baru makan sejam yang lalu, Bang." ucapku bingung, tetapi menurut saja saat Bang Dipta menyuruhku untuk duduk. Segelas susu tadi tentu saja sudah terhidang dengan cantiknya di hadapanku.

MOM(ME)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang