Sebuah Kepercayaan

15K 784 21
                                    

Sebagai selametan nama baru akun saya yang saya ubah dari RaMinaMi jadi swasmitabuwana, akhirnya saya apdet Bang Dipta...maaf kl part ini datar...hehehee...
Maaf kalau bikin bingung gonta ganti nama begini...cuma emang sengaja ganti nama semua akun justru supaya g bikin bingung...jd semua akun medsos saya sudah saya ganti dengan nama swasmitabuwana baik IG, twitter, wattpad juga facebook (Swasmita Buwana) dengan nama yang sama...
Terima kasih...g usah kepanjangan saya basa basinya...monggoh dibaca...ditunggu kritik dan sarannya...#nyengir

==========================

Aku benar-benar hamil. Sebuah kepastian yang akhirnya kudapatkan setelah aku berkonsultasi dan memeriksakan diri pada Tante Rina. Rasanya masih setengah percaya, meskipun aku tahu ini nyata. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sama sekali tidak mengetahui apa pun tentang kehamilan atau persiapan menjadi Ibu. Meskipun tadi sudah banyak bertanya pada Tante Rina, tapi aku tetap membutuhkan bantuan orang terdekat yang sudah berpengalaman. Dan satu nama yang terbersit di benak membuatku mengerangkan hal tersebut. Bunda.
Ya, memang apa susahnya meminta tips dan trik dari Bunda sendiri, kan. Tapi menurutku itu sangat susah. Dengan situasi kami yang sama-sama aneh begini. Bunda hamil, aku pun hamil. Bunda pasti sudah sibuk dengan kehamilannya sendiri, tidak mungkin aku menambah kesibukan dan pikiran Bunda tentang kehamilanku. Jujur, aku segan, aku takut merepotkan beliau.
Tetapi lagi, kalau bukan pada Bunda, pada siapa lagi? Sebelum menikah dengan Bang Dipta, apa pun masalah atau perasaan yang kuhadapi selalu kuceritakan pada Bunda. Dan beliaulah yang akan dengan sabar memberiku nasehat dan menenangkanku. Sekarang aku punya Bang Dipta, maka tugas tersebut otomatis berpindah padanya. Nah, yang jadi masalah, untuk tetek bengek kehamilan juga segala hal sebelum dan sesudahnya Bang Dipta tentu saja sama tidak tahunya denganku. Meminta bantuan Ibu Bang Dipta pun rasanya lebih segan. Beliau dan Bapak tinggal di Sumatera, kembali ke kampung halaman untuk menghabiskan masa tua di sana. Tidak mungkin aku mengganggu beliau berdua untuk datang jauh-jauh kemari hanya untuk mengurusiku yang lebay ini. Ck, jadi jelas kan, tidak ada yang bisa membantuku selain Bunda.
Bagaimana sekarang? Ugh! Benar-benar menyebalkan ada di posisiku sekarang. Padahal seharusnya kehamilan cucu pertama selalu menjadi saat yang ditunggu-tunggu calon kakek dan nenek. Terlebih lagi setelah mengamati sekitar selama bertahun-tahun kupikir justru calon kakek dan nenek yang terkadang lebih heboh menyambut kedatangan calon keluarga baru ini. Tapi kakek dan nenek anakku sudah terlalu sibuk menyambut kedatangan om atau tantenya. Nasib!
"Ibu, kok bengong?"
"Eh? Siapa yang bengong, Nis ... mmm, Ibu, cuma lagi lihat pemandangan, Pak." Duh, lidahku masih sering keseleo dengan panggilan Ibu dan Bapak yang aku dan Bang Dipta sepakati. Terbiasa memanggil diri sendiri dengan sebutan aku atau Nisya, tiba-tiba harus berubah menjadi Ibu benar-benar perubahan besar menurutku. Bukan hanya besar dalam arti tersurat, tetapi juga tersirat. Membuatku terkadang masih merasa sedikit kagok dengan panggilan dan status baru yang melekat tersebut.
"Udah telepon Ayah Bunda kan tadi? Mereka di rumah?" Pertanyaan Bang Dipta tersebut sejujurnya membuatku ingin segera meminta Bang Dipta memutar mobil kami untuk pulang. Ada kenyataan lain yang harus kuhadapi saat ini. Entah harus berapa kenyataan absurd lagi yang harus aku hadapi untuk melewati kehamilan ini. Tapi yang pasti, kenyataan saat ini membuatku sangat tidak tenang.
Dengan kepastian hasil pemeriksaan Tante Rina, akhirnya aku dan Bang Dipta memutuskan, hari ini adalah waktunya bagi kami memberi kabar gembira ini pada Ayah dan Bunda. Benarkah kabar ini akan menjadi kabar gembira untuk mereka? Atau justru kejadian saat aku menerima kabar kehamilan Bunda akan terulang lagi? Kabar ini menjadi kabar buruk? Oh, entahlah!
"Iya, Ayah Bunda di rumah." Padahal sesungguhnya sedari Bang Dipta menyuruhku menelepon, aku sangat berharap Ayah dan Bunda tidak di rumah, sehingga kami tidak jadi ke sana hari ini. Sehingga memberiku waktu untuk mulai berpikir jernih. Saat ini pikiranku benar-benar sangat kacau. Belum ada yang terjadi, namun rasanya bayanganku akan peristiwa nanti sudah bolak-balik membuatku menghela napas lelah. Membayangkan reaksi Ayah Bunda yang terkejut dalam berbagai versi. Entah versi terkejut biasa-biasa saja, dengan mulut menganga dan hidung kembang kempis. Sampai dengan versi terkejut luar biasa dengan efek Bunda melahirkan prematur dan Ayah yang pingsan. Duh, lebay kan pikiranku?
Tapi jangan hanya salahkan aku atau pikiranku saja, bayangan peristiwa saat Bunda mengabarkan tentang kehamilan beliau masih teringat jelas di benakku, bahkan mengingatnya terkadang masih membuat bulu kudukku meremang. Perasaanku yang campur aduk mendengar kabar tersebut, memberiku ketakutan aku akan memberikan perasaan yang sama pada Bunda. Situasi kami ini sangat tidak normal, kan. Jadi jangan salahkan kalau pikiranku terus menerus tidak normal begini.
"Terus kenapa mukanya dari tadi suntuk begitu kalau Ayah Bunda udah jelas di rumah?" tanya Bang Dipta yang membuatku tersenyum kaku, berusaha mengubah wajahku supaya tidak sesuntuk yang-mungkin-aku perlihatkan dari tadi.
"Nggak kenapa-kenapa ko, Pak."
Ya, bukankah aku tidak sendirian ke sana? Ada Bang Dipta yang menemaniku. Paling tidak saat otakku mulai konslet ada dia yang siap sedia mengatasi kekonsletan tersebut, seperti biasanya.
Kamu pasti bisa, Sya, kusemangati diri sendiri.
~oOo~
Saat ini, aku sudah duduk di ruang tamu rumah kedua orang tuaku dengan Bang Dipta duduk di sampingku dan Ayah Bunda di hadapan kami. Posisi yang sama seperti saat Ayah Bunda mengabariku dan Bang Dipta tentang kehamilan Bunda. Namun saat ini, posisinya berbalik, akulah yang saat ini harus mengabari mereka tentang kehamilanku. Pikiranku kosong, kalimat yang sudah kurangkai semenjak kami di rumah tadi seolah buyar setelah mendapati keadaan yang nyata ini. Bagaimana ini?
"Ada apa, Sya? Tadi katanya mau kasih kabar." Ucapan Ayah tersebut membuat semua pikiranku semakin kacau. Apa yang harus kukatakan sekarang? Remasan tangan lembut yang kurasakan membuatku sejenak menatap Bang Dipta dan tanpa sadar mataku menyiratkan permintaan tolong padanya. Ah, kenapa juga tadi aku menerima saja saat Bang Dipta menyarankan supaya aku yang harus mengabarkan ini pada Ayah Bunda. Aku sendiri yang harus mengatakan pada mereka.
"Eh, I-tu ... Ayah Bunda apa kabar?" tanyaku, mencoba mengulur waktu sambil aku merangkai kata yang sudah buyar tadi. Kali ini bukan remasan tangan, namun cubitan kecil kudapatkan dari Bang Dipta yang mulai menatapku gemas. Duh, salah sendiri dia menyuruhku yang mengatakan kabar ini, sedangkan aku rasanya sama sekali tidak siap. Serasa bagai akan melempar bom molotov ke hadapan Ayah Bunda.
"Oh, Alhamdulillah kami baik-baik saja." Jawab Bunda sembari tanpa sadar mengelus perutnya dengan sayang. Termangu, aku menatap dengan lekat saat tangan Bunda yang biasanya mengelus rambutku sayang, kini sedang mengelus calon adikku sayang. Rasa hati yang sudah kacau tadi semakin tidak karu-karuan saat ini. Ya Tuhan, tidak bisakah kau memberiku situasi normal? Di mana aku bisa mengatakan kalau aku hamil tanpa ada efek samping? Aku takut.
Kurasakan satu lagi remasan tangan dari Bang Dipta, remasan tangan yang menunjukkan rasa tidak sabar. membuatku memalingkan wajahku ke arahnya. Tatapan tegas dari Bang Dipta memaksaku tidak dapat mengulur atau pun mundur. Ya, siap tidak siap aku harus mengabarkan ini semua pada kedua orang tuaku.
"Ayah ... Bunda ... kedatangan Nisya dan Bang Dipta hari ini, kami ingin mengabarkan sesuatu yang penting," Menghirup napas dan mengembuskannya sejenak, baru aku melanjutkan, "... Nisya hamil ...."
Akhirnya aku menjatuhkan bom itu. Tiba-tiba hanya senyap yang menggelayuti ruang tamu berukuran 5 x 5 meter ini. Tidak berani memandang ke depan, aku hanya bisa memain-mainkan jariku dengan takut. Benar-benar takut dengan efek yang kutimbulkan. Bagaimana ini? Kenapa belum ada respon apa pun? Hingga sebuah tawa yang terdengar berat memenuhi ruangan ini, dan kurasakan seseorang memelukku erat.
"Alhamdulillah ... akhirnya ya ... selamat ya, Nduk." Pelukan Bunda yang kurasakan bukanlah seperti yang kubayangkan. Aku sama sekali tidak membayangkan respon secerah ini. Sedari tadi yang kubayangkan selalu berakhir dengan Ayah dan Bunda yang terlalu terkejut sepertiku kemarin. Apakah memang aku yang terlalu bodoh? Menyamakan perasaan Bunda seperti perasaanku yang jelas sekali berbeda. Karena mendengar ucapan selamat yang tulus diucapkan Bunda tersebut bukan seperti apa yang kuucapkan saat aku mendengar kabar Bunda, ini berbeda. Ya, karena kami memang berbeda.
"Ah, senengnya, berarti nanti kita bisa belanja bareng ya, Sya, buat beli kebutuhan bayi. Ih, pasti lucu deh ya." Kebahagiaan jelas terdengar dari ucapan Bunda tersebut. Belanja kebutuhan bayi dengan Bunda? Kutatap wajah Bunda yang berbinar menatapku.
"Pasti asyik, Bunda." Jawabku yang segera mengembangkan senyum tulus pertamaku hari ini. Ya, pasti akan mengasyikkan. Memilih-milih baju bayi, sepatu bayi, peralatan bayi, dan lain-lain bersama Bunda. Sekalian aku juga bisa bertanya banyak hal tentang kehamilan pada beliau. Walaupun mungkin Bunda sibuk dengan kehamilannya, pasti beliau akan tetap mau memberiku nasihat dan membantuku menghadapi kehamilan ini. Dia Bundaku, orang yang akan selalu melakukan apa pun untuk membantuku. Kenapa aku bahkan pernah meragukannya?

TBC

MOM(ME)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang